1. Asmaul Khomsah
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 KAMIS
| 04 Jumadil Awwal 1443H
| 09 Desember 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-14
📖 Hukum Pernikahan (Bagian Kedua)
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْد
Kalau kita kembali kepada referensi-referensi fiqih, kita akan dapatkan kontroversi, perselisihan pendapat, persilangan pendapat di kalangan para ulama.
Ada yang menyatakan bahwa pernikahan itu hukumnya mubah, karena substansi dari pernikahan itu hanyalah melampiaskan nafsu, bagaikan makan, bagaikan minum, bagaikan tidur. Sebagaimana makan dan minum itu mubah, sebagaimana tidur itu mubah, demikian pula pernikahan.
Karena inti dari semua itu hanyalah melampiaskan nafsu, melampiaskan hasrat, sebagaimana Anda berhasrat untuk makan, Anda juga berhasrat untuk berhubung badan. Sebagaimana makan dan minum itu mubah, maka berhubungan badan melalui prosesi pernikahan itu juga mubah. Demikian logika sebagian ulama.
Sebagian ulama lagi mengatakan tidak, pernikahan itu sunnah bagi semua orang, baik pemuda tua yang sudah menikah ataupun yang belum menikah, semuanya sunnah.
Kenapa? Karena dengan jelas Nabi menyatakan bahwa pernikahan itu adalah sunnah, itu adalah tuntunan Nabi. Maka berarti menikah itu sunnah hukumnya.
Sebagian lagi berkata tidak demikian, pernikahan itu bahkan hukumnya wajib. Kenapa demikian? Karena, kalau Anda tidak menikah maka sangat dimungkinkan Anda terjerumus dalam perzinaan, karena melawan kebutuhan biologis itu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Sebagaimana Anda tidak akan pernah kuasa melawan kantuk, Anda pasti tidur. Anda juga tidak akan kuasa melawan rasa lapar dan dahaga, cepat atau lambat kalau Anda paksakan tidak makan dan tidak minum Anda akan binasa.
Kalau Anda ingin tetap bertahan hidup, Anda harus makan dan minum, sebagaimana halnya dengan kebutuhan biologis Anda yang satu ini yaitu kebutuhan akan melampiaskan nafsu birahi Anda.
Anda tidak akan kuasa menahannya terus menerus. Mungkin sesaat mungkin dalam satu kondisi Anda mampu, tapi untuk seterusnya tidak. Anda cepat atau lambat akan terkalahkan dan akan terjerumus dalam perbuatan dosa.
Dengan kata lain untuk Anda bisa terhindar dari perbuatan zina, untuk Anda bisa terhindar dari perbuatan maksiat melampiaskan nafsu birahi dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, dengan cara-cara yang menyimpang dari aturan syariat. Tidak ada cara lain kecuali dengan cara menikah, karena Allah Subhānahu wa Ta'āla telah berfirman:
وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ ۞ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ
Dan orang-orang yang senatiasa menjaga kemaluan mereka, kecuali dari istri-istri mereka atau pun budak-budak (hamba sahaya) yang mereka miliki. Tatkala mereka melampiaskan nafsunya kepada istri atau pun kepada budak (hamba sahayanya) maka mereka tidaklah tercela." [QS Al-Mukminun: 5-6]
Alias ketika Anda melampiaskannya dengan cara-cara lain, tidak dengan cara menikah, tidak dengan cara melampiaskan kepada budak (hamba sahaya) Anda, sudah bisa dipastikan Anda akan terjerumus dalam perbuatan dosa yaitu zina.
أعاذنا الله وإياكم
Dan karena perbuatan zina tidak mungkin bisa dihindari kecuali dengan cara menikah maka sebagian ulama menyimpulkan, berarti pernikahan itu wajib hukumnya. Kenapa demikian? Karena:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب و ما لَا يتم ترك الحرم الا به و هو واجب
Meninggalkan zina itu hukumnya wajib, dan untuk bisa meninggalkan zina, tidak mungkin bisa Anda lakukan secara continue (terus menerus) kecuali dengan cara menikah, dengan cara melampiaskan nafsu birahi Anda dengan menikah.
Maka berarti kesimpulannya menikah itu hukumnya wajib, sebagaimana melakukan zina itu haram, dan untuk meninggalkan yang haram ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara menikah. Berarti menikah adalah sarana yang paling efektif atau sarana yang efektif untuk bisa membendung diri Anda dari perbuatan zina. Maka hukumnya wajib.
Namun demikian tentu kalau kita renungkan dengan baik, kita analisa kembali berbagai pendapat di atas, berbagai dalil yang mereka utarakan niscaya dalil-dalil yang mereka utarakan tersebut sejatinya tidak saling beradu, tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi.
Karenanya sebagian ulama sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dan yang lainnya, menyimpulkan bahwa seharusnya yang kita lakukan bukan memperadukan dalil-dalil ini, tetapi mengkombinasikannya, menyinkronkan semua dalil ini untuk bisa kita lakukan, untuk bisa kita kompromikan sehingga menghasilkan satu kesimpulan hukum yang lebih akurat.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf kepada Anda, di manapun Anda berada.
Dan sebagai penutup,
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك.
Sampai jumpa di lain kesempatan.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Senin, 16 Jumadil 'Ula1443 H/20 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 06 : Hukum Asal Jual Beli Adanya Hak Pembatal Akad
〰〰〰〰〰〰〰
HAK PEMBATAL AKAD
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن علَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم عدد من
تعلم و علم اما بعد
Ikhawaniy A'ādzaniyallāh wa Iyyakum wa Rahimakumullāh.
Ini pertemuan kita yang keenam dari kajian tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan jual beli. Kita telah sampai pada kaidah yang kedelapan, yaitu:
األصل ثبوت الخيار في البيوع
▪︎ Hukum Asal Jual Beli Adanya Hak Pembatalan Akad
Apa maksudnya?
Maksudnya adalah setiap transaksi jual beli memberikan hak pilih kepada penjual atau pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Dalam istilah fiqih lebih dikenal dengan istilah khiyar (pilihan untuk membatalkan akad).
Diantara jenis-jenis khiyar atau hak untuk membatalkan akad, adalah:
⑴ Khiyar Majelis
Khiyar mejelis adalah hak untuk membatalkan akad baik penjual dan pembeli selama mereka berdua masih berada dalam satu majelis.
Selama mereka berada dalam majelis akad, dalam tempat transaksi, maka mereka berdua (penjual dan pembeli) memiliki hak pilih untuk membatalkan akad tersebut walaupun jual belinya telah selesai.
Selama mereka masih bersama, selama mereka masih berada di satu tempat transaksi, maka mereka masih diperkenankan untuk membatalkan akad.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ يَقُولُ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ اخْتَرْ
"Dua orang yang melakukan transaksi jual beli memiliki hak untuk melanjutkan atau membatalkan akad, selama mereka berdua belum berpisah atau ketika salah seorang di antara keduanya berkata kepada yang lainnya: putuskanlah, selesaikanlah, pilihlah."
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 2109)
Kapan hak ini hilang?
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
"Selama mereka belum berpisah."
Maknanya adalah ketika mereka telah berpisah, ketika pembeli telah meninggalkan majelis akad, maka ketika itu hilanglah hak pilih. Maka akad menjadi lazim dan tidak boleh lagi penjual atau pembeli membatalkan akadnya. Kecuali mereka berdua sama-sama ridha untuk membatalkan akad.
Kalau seandainya pembeli kembali lagi kepada si penjual lalu mengatakan, "Afwan, ana tidak jadi beli barang ini," (misalkan) maka penjual memiliki hak untuk menolak permintaan pembeli karena akad telah selesai.
Namun selama mereka bersama, selama mereka belum berpisah (masih di satu tempat) masih di tempat jual beli, masih di tempat transaksi, ketika pembeli membatalkan maka hal itu diperkenankan.
Misalkan, membeli sebuah barang. Lalu dia berdiri di situ ngobrol dengan penjual selama 10 menit atau 15 menit. Lalu dia berubah pikiran dan berkata kepada penjual, "Afwan, ana tidak jadi beli," lalu dia batalkan, "Kembalikan lagi duit saya," maka hal itu diperkenankan.
Inilah yang dinamakan oleh para ulama khiyar majelis. Jadi selama mereka belum berpisah.
Tetapi ketika mereka berpisah maka tidak ada lagi khiyar, tidak ada lagi hak pilih untuk membatalkan akad
Atau salah seorang diantara keduanya berkata kepada pihak lain, misalkan:
"Putuskanlah," "Selesaikanlah," "Hilangkan khiyarmu," "Khiyarkan hakmu," "Gugurkan hakmu," lalu diterima oleh pihak lainnya maka ketika ini akadnya menjadi lazim.
Misalkan:
Pembeli telah selesai membeli barang, barang telah dia pegang uang telah ia serahkan. Lalu penjual berkata kepada pembeli, "Ikhtar." "Sekarang pilih ini selesai atau tidak? Putuskan sekarang!"
Lalu pembeli bilang, "Ana ridha, ana putuskan ana tidak bakal kembalikan barang ini, ana sudah selesai (akad kita selesai)."
Ketika seperti ini, maka hilanglah hak khiyar dari seorang pembeli. Ketika mereka telah sama-sama ridha untuk memutuskan hak, untuk menggugurkan haknya, maka tidak ada lagi memiliki hak untuk membatalkan akad.
Itu yang pertama.
⑵ Khiyar Syarat.
Apa itu khiyar syarat?
Hak membatalkan akad bagi penjual maupun pembeli selama syarat yang disepakati atau selama kurun waktu yang disepakati.
Misalkan:
Pembeli membeli barang kepada penjual lalu pembeli berkata, "Berikan saya waktu selama lima hari untuk membatalkan akad," "Berikan saya kesempatan berikan saya hak lima hari untuk membatalkan akad."
Penjual berkata, "Thayyib, saya berikan waktu lima hari."
Sehingga, ketika barang telah dibawa pulang oleh si pembeli dan uang telah dia serahkan kepada penjual, kemudian dihari yang ketiga pembeli menghubungi penjual kembali lalu dia berkata, "Afwan ana tidak jadi beli," maka ketika itu akad bisa dibatalkan.
Si Pembeli mengembalikan barang yang telah dibeli dan Si Penjual mengembalikan uang yang telah dia terima. Karena kesepakatan awal (syarat) tadi diajukan oleh seorang pembeli, "Berikan saya waktu selama lima hari." Ketika penjual meridhai hal tersebut maka syarat tersebut wajib dilaksanakan.
Thayyib, itulah yang dinamakan dengan khiyar syarat. Ini khiyar hak pilih (melanjutkan atau membatalkan) sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli, sesuai dengan syarat yang diajukan.
Dan ini termasuk dengan kaidah yang sebelumnya, hukum sesuai dengan syarat yang diajukan. Dan hal ini sah selama tidak bertentangan dengan syariat Islām.
⑶ Khiyar Ghabn
Khiyar hak pilih yang diberikan kepada seorang pembeli, ketika pembeli merasa tertipu karena harganya jauh dari harga pasar.
Contoh:
Si A datang kepada Si B ingin membeli sebuah barang. Ketika Si B tahu bahwa Si A ini adalah orang yang tidak paham barang tersebut dan tidak tahu harga pasar, padahal sebenarnya harga tersebut berkisar (misalnya) diantara 100 ribuan, tetapi Si B ini menjual kepada Si A dengan harga 300 ribu dan Si A tidak tahu harganya.
Ketika Si A mengetahui bahwasanya dia tertipu, maka dia diberikan hak untuk mengembalikan barang tersebut kepada Si B.
Kalau seandainya dia ridha maka tidak masalah. Si A ridha, "Ya sudahlah tertipu." Lalu dia meridhai itu, maka hilang (gugur) hak.
Namun seandainya dia ingin menggunakan haknya, dia datangi Si B lalu dia bilang, "Ternyata anda menipu saya, kembalikan lagi uang saya, saya tidak mau menjalankan, saya tidak mau membeli dari anda." Maka hal tersebut diperkenankan.
Karena apa?
Karena dia maghbud, tertipu. Itu khiyar ghabn.
⑷ Khiyar 'Aib
Khiyar 'Aib adalah hak pembatalan akad yang dimiliki oleh seorang pembeli jika dia menemukan aib pada barang yang dijual, setelah transaksi jual beli.
Jadi dia mengetahui adanya aib atau cacat pada barang tersebut setelah akad jual beli. Maknanya adalah kalau seandainya telah dia tahu aib atau cacat tersebut ketika akad dan penjual telah menjelaskan bahwanya barang ini ada cacatnya ini dan itu, lalu mereka sepakat dan pembeli tidak mempermasalahkan hal tersebut, mereka sepakat dengan satu harga maka tidak ada lagi pilihan kepada pembeli untuk membatalkan akad (tidak diperkenankan lagi).
Si A membeli mobil ke Si B. Lalu dua hari kemudian dia datang lagi dan mengatakan, "Afwan ana tidak ridha dengan cacat itu," maka ini tidak diterima karena dia telah mengetahui cacat itu sebelumnya. Ketika akad terjadi dan dia meridhai hal tersebut.
Namun seandainya penjual tidak menjelaskan cacat yang ada pada mobil tersebut, lalu dua atau tiga hari kemudian Si Pembeli menemukan ada kecacatan di mobil itu, maka dia boleh membatalkan akad atau pilihan kedua dia cukup menerima uang selisih harga.
Misalkan mobil itu harga pasarannya 250 Juta, ketika dia ada cacat yang seperti ini dan ditanyakan kepada orang yang ahli. Kemudian orang ahli itu mengatakan, kalau ada cacat seperti itu harganya cuma 220 Juta.
Maka Si Pembeli di sini tinggal meminta 30 Juta kepada Si Penjual, ganti rugi terhadap cacat yang ada pada mobil yang dia jual. Maka ini diperkenankan.
Kemudian para ulama membahas aib yang mana yang boleh dikomplain oleh seorang pembeli?
Mereka menjelaskan bahwa aib yang boleh dikomplain adalah aib yang bisa mempengaruhi harga. Adapun aib-aib yang dimaafkan adalah cacat yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat atau ahli.
Ketika seorang ahli melihat ternyata mobil ini tidak masalah, tidak mempengaruhi harga (misalkan), maka hal seperti ini tidak dianggap aib yang melazimkan memberikan hak pilih kepada Si Pembeli.
Cacat yang dihitung adalah cacat yang bisa memengaruhi harga seperti yang telah kita jelaskan.
Misalnya, mobil yang memiliki cacat seperti itu harga jualnya menjadi 220 Juta, sedangkan si pembeli ketika tidak mengetahui cacat tersebut dia membeli mobil tersebut 230 Juta, maka hal seperti ini si pembeli diberi dua pilihan:
① Pembeli boleh membatalkan akad secara keseluruhan.
② Pembeli boleh mengambil ganti rugi dari cacat yang dia terima.
Wallāhu Ta'āla A'lam.
Kita cukupkan pembahasan kita sampai sini. Kita telah selesai membahas tentang beberapa kaidah yang berkaitan dengan jual beli dan delapan kaidah yang kita bahas ini adalah kaidah-kaidah dasar yang seharusnya diketahui oleh orang-orang yang bertransaksi jual beli. Terlebih bagi teman-teman yang bekerja sebagai pebisnis atau berjualan.
Maka mereka harus memahami kaidah-kaidah ini jangan sampai dia terjatuh kepada hal-hal yang terlarang dalam syariat Islām.
وصلّى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
________
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 RABU
| 03 Jumadil Awwal 1443H
| 08 Desember 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-13
📖 Hukum Pernikahan (Bagian Pertama)
~•~•~•~•~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْد
Alhamdulillah kembali saya hadir ke tengah ruang siar Anda untuk bersama-sama,
فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ الله
Guna mewujudkan mimpi kita semua yaitu, "Baiti Jannati (Rumahku adalah Surgaku)".
Rumahku adalah Surga duniaku sebelum aku kelak dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala masuk ke dalam Surga di akhirat.
Berbicara tentang pernikahan, satu pertanyaan yang sepatutnya Anda jawab dan kita jawab bersama, sebelum kita melangkah lebih jauh dengan menikah dan membangun rumah tangga.
Apa hukumnya menikah bagi diri saya?
Mungkin Anda telah mendengar, mungkin Anda telah mempelajari tentang hukum pernikahan secara umum dan Anda juga mungkin sering mendengar dan menghadiri langsung prosesi-prosesi pernikahan, walimah-walimahan yang di sana disampaikan ceramah-ceramah umum, mauizhah-mauizhah, ataupun nasihat-nasihat.
Dan tentunya sebagaimana itu yang saya alami, ketika kita menikah, atau kita menghadiri acara-acara semacam itu, seringkali terbetik dalam diri kita ingin menikah tetapi di saat yang sama pertanyaan lain segera datang dan berkata: "Apakah hukumnya menikah bagi saya, wajibkah, sunnahkah, mubahkah atau bahkan bisa jadi haram?".
Karena tentu pernikahan itu bukanlah satu ritual, satu aktifitas yang suka-suka Anda lakukan, karena pernikahan itu adalah menjalankan tuntunan syari'at. Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam suatu hari, ketika mendapatkan satu fenomena unik di sebagian sahabatnya di mana sebagian pemuda.
Sekali lagi sebagian pemuda dari sahabat beliau bertekad untuk tidak menikah dengan alasan bahwa menikah itu akan menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allāh, sedangkan kita diciptakan di dunia ini, kita hadir di dunia ini dalam rangka menegakkan 'ubudiyyah kepada Allāh.
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menegakkan ibadah kepada-Ku." (kata Allah) [QS Adh-Dhariyat: 56]
Sebagian pemuda tersebut berpikir bahwa menikah itu akan menyita banyak tenaga, waktu, pikiran sehingga konsentrasi kita beribadah kepada Allāh akan tersita. Maka dia bertekad untuk tidak menikah, apapun risikonya.
Dia sadar bahwa dia butuh, dia punya nafsu, punya syahwat, namun dia bertekad untuk mengendalikan bahkan mengalahkan nafsu tersebut agar dia bisa maksimal beribadah kepada Allah. Itu cara pandang beliau.
Tapi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, beliau diutus dengan دِيْن الْحَنِيفِيَّةُ agama yang moderat, agama yang tengah-tengah, tidak ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri.
Mengetahui gejala yang tidak sehat ini, beliau segera mencari pemuda tersebut dan berusaha meluruskan cara pandangnya. Bahwa pernikahan itu tidak sepatutnya diperadukan dengan ibadah kepada Allah.
Kenapa? Karena pernikahan bagian dari perintah Allah, pernikahan bagian dari syariat Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam yang bila kita lakukan dengan benar itu akan menjadi ibadah tersendiri, bukan hanya shalat, puasa, haji atau berdzikir tapi menikahpun menjadi ibadah.
Beliau berkata kepada pemuda tersebut:
أَنْت الَّذِي قُلْت كَذَا وَكَذَا
"Engkaukah yang berkata demikian dan demikian?"
Ingin mengoptimalkan waktunya untuk beribadah puasa di siang hari dan shalat di malam hari.
Pemuda tersebut pun mengakuinya dan kemudian Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam meluruskan cara pandang pemuda tersebut, bahwa semangat beribadah tidak sepatutnya mengabaikan pernikahan, karena pernikahan adalah bagian dari ibadah.
Beliau mengatakan:
وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ
"Sungguh demi Allah, yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya."
إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ ووَأَتْقَاكُمْ لَهُ
"Sungguh aku adalah orang yang paling khasyah, paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dibandingkan kalian semua, walau demikian kesempurnaan takwa, kesempurnaan khasyah yang aku miliki tidak menjadikan aku terhalangi dari makan dan minum, tidur, dan juga dari menikahi wanita."
Kemudian Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menyatakan:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
"Inilah tuntunanku, inilah ajaranku, inilah syariatku."
Sehingga siapapun yang berusaha memperadukan antara ibadah kepada Allah dengan menikah, dengan memenuhi hak biologis dirinya maka itu, فَلَيْسَ مِنِّيْ.
Kata Nabi: Dia tidaklah termasuk dari umatku, dia tidak sedang menjalankan tuntunanku.
Karenanya wajar dan juga seharusnya Anda senantiasa berkata dan bertanya kepada diri Anda agar Anda tidak salah langkah.
Apakah hukum pernikahan bagi saya?
Apakah mubah, sunnah, atau bahkan bisa jadi wajib?
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf kepada Anda, di manapun Anda berada dan sebagai penutup.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك
Sampai jumpa di lain kesempatan.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Jum'at, 13 Jumadil 'Ula1443 H/17 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 05 : Hukum Asal Pengajuan Syarat Jual Beli Diperbolehkan
〰〰〰〰〰〰〰
HUKUM ASAL PENGAJUAN SYARAT JUAL BELI DIPERBOLEHKAN
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن علَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم عدد من
تعلم و علم اما بعد
Ikhawatiy ahibai A'ādzakumullāh
Dipertemukan kali ini (in syā Allāh) kita kembali melanjutkan pembahasan kita dalam kaidah-kaidah jual beli, yang mana kita telah sampai kepada pembahasan kaidah yang ketujuh yaitu:
الأصل في الشروط الإباحة و الصحة
▪︎ Kaidah Ketujuh | Hukum asal pengajuan syarat jual beli diperbolehkan
Apa maksudnya?
Syarat yang diajukan dalam transaksi jual beli oleh pelaku transaksi pada dasarnya diperbolehkan, ketika seorang penjual atau pembeli melakukan akad transaksi. Salah satu diantara keduanya mengajukan syarat kepada pihak lainnya. Maka hukum asal syarat tersebut adalah diperbolehkan.
Ini perlu dibedakan antara syarat jual beli dengan pengajuan syarat dalam jual beli.
Syarat jual beli ditetapkan oleh syariat, seperti barang harus dimiliki, barangnya harus halal kemudian pelaku transaksi harus orang yang berakal dan sebagainya. Itu namanya syarat jual beli.
Sedangkan yang kita bahas di sini adalah syarat yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dalam sebuah transaksi jual beli.
Misalkan:
Ahmad membeli sebuah mobil kepada Muhammad, lalu Ahmad mengatakan kepada Muhammad, "Saya beli mobil ini dengan syarat nanti bensin atau bahan bakarnya harus full ketika saya beli mobil ini diantarkan ke rumah saya."
"Thayyib," kata Muhammad.
Mereka sepakat misalkan harganya 200 Juta dengan syarat bahan bakar full dan diantarkan ke rumah Ahmad.
Muhammad menyetujui persyaratan tersebut, maka pada asalnya syarat ini dibolehkan dan Muhammad wajib untuk menjalankan syarat yang diberikan kepadanya.
Begitu pula ketika penjual yang mengajukan syarat.
Ahmad membeli mobil Muhammad seharga 200 Juta tetapi Muhammad bilang dengan syarat, "Saya boleh memakainya sampai lima hari ke depan, baru nanti saya antarkan ke rumah Anda."
Lalu Ahmad sebagai pembeli di sini menyetujui syarat tersebut, maka pada dasarnya syarat ini dibolehkan dan Ahmad harus menjalankan apa yang disyaratkan kepadanya.
Namun ada syarat-syarat tersebut yang tidak diperbolehkan.
Kapan itu?
⑴ Ketika syarat tersebut menghilangkan tujuan pokok jual beli.
Sebagaimana telah kita singgung ketika pembahasan jual beli dibangun di atas asas keridhaan
Apa contohnya?
Ketika seorang menjual rumah lalu, lalu dia mengajukan syarat, "Kamu boleh beli rumah saya ini dengan syarat kamu tidak boleh menjual kembali, tidak boleh kamu berikan kepada orang lain dan tidak boleh juga engkau sewakan kepada orang lain (misalkan)."
Maka syarat seperti ini bathil. Tidak boleh mengajukan syarat yang seperti ini, karena dia akan menghilangkan tujuan jual beli sehingga jual beli itu tidak ada lagi manfaat.
Begitu pula ketika syarat tersebut tidak menyelisihi syariat. Seperti syarat yang membuat seseorang mengerjakan yang haram atau meninggalkan kewajiban.
Seperti (misalkan):
Seseorang berkata, "Thayyib, saya jual mobil ini kepadamu dengan syarat Anda meminum khamr yang saya pegang ini (misalkan)." Maka syarat seperti ini bathil, syarat seperti ini tidak boleh diajukan karena bertentangan dengan syariat Islam.
Apa dalīl kaidah segala syarat yang diajukan dalam transaksi jual beli pada asalnya dibolehkan?
Sabda Rasūlullāh ﷺ:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
"Orang-orang Islām itu sesuai dengan syarat yang diajukan kepada mereka."
(Hadīts hasan shahīh riwayat Abu Dawud nomor 3594)
Orang Islām itu dilazimkan untuk mengerjakan, untuk mematuhi syarat-syarat yang diberikan kepada mereka.
Sehingga ketika seseorang mengajukan syarat dan tidak bertentangan dengan syariat, tidak pula menghilangkan tujuan asal maka orang-orang Islām harus memenuhi syarat tersebut.
Kemudian juga yang dijelaskan para ulama dalīlnya adalah bahwa syarat termasuk akad perjanjian.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ...
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad perjanjian tersebut."
(QS. Al Mā'idah: 1)
Dan syarat termasuk ke dalam akad yang diajukan.
Ketika seorang melakukan transaksi, ketika seorang melakukan sebuah akad dia memasukkan syarat sehingga syarat tersebut termasuk dalam akad jual beli. Maka ketika sama-sama disepakati maka wajib untuk dipenuhi.
Inilah penjelasan singkat tentang kaidah: الأصل في الشروط الإباحة و الصحة , hukum asal syarat yang diajukan atau hukum asal pengajuan syarat dalam transaksi jual beli adalah boleh dan sah.
Wallāhu Ta'āla A'lam.
In syā Allāh kita lanjutkan di pertemuan selanjutnya.
وصلّي الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم ثمّ و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
________