Kamis, 23 Desember 2021

Jenis Isim (bagian kedua)

 1. Asmaul Khomsah

 


 

Hukum Pernikahan (Bagian Kedua)

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 KAMIS
 | 04 Jumadil Awwal 1443H
 | 09 Desember 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati

🔈 Audio ke-14
📖 Hukum Pernikahan (Bagian Kedua)
~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْد

Kalau kita kembali kepada referensi-referensi fiqih, kita akan dapatkan kontroversi, perselisihan pendapat, persilangan pendapat di kalangan para ulama.

Ada yang menyatakan bahwa pernikahan itu hukumnya mubah, karena substansi dari pernikahan itu hanyalah melampiaskan nafsu, bagaikan makan, bagaikan minum, bagaikan tidur. Sebagaimana makan dan minum itu mubah, sebagaimana tidur itu mubah, demikian pula pernikahan.

Karena inti dari semua itu hanyalah melampiaskan nafsu, melampiaskan hasrat, sebagaimana Anda berhasrat untuk makan, Anda juga berhasrat untuk berhubung badan. Sebagaimana makan dan minum itu mubah, maka berhubungan badan melalui prosesi pernikahan itu juga mubah. Demikian logika sebagian ulama.

Sebagian ulama lagi mengatakan tidak, pernikahan itu sunnah bagi semua orang, baik pemuda tua yang sudah menikah ataupun yang belum menikah, semuanya sunnah.

Kenapa? Karena dengan jelas Nabi menyatakan bahwa pernikahan itu adalah sunnah, itu adalah tuntunan Nabi. Maka berarti menikah itu sunnah hukumnya.

Sebagian lagi berkata tidak demikian, pernikahan itu bahkan hukumnya wajib. Kenapa demikian? Karena, kalau Anda tidak menikah maka sangat dimungkinkan Anda terjerumus dalam perzinaan, karena melawan kebutuhan biologis itu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia.

Sebagaimana Anda tidak akan pernah kuasa melawan kantuk, Anda pasti tidur. Anda juga tidak akan kuasa melawan rasa lapar dan dahaga, cepat atau lambat kalau Anda paksakan tidak makan dan tidak minum Anda akan binasa.

Kalau Anda ingin tetap bertahan hidup, Anda harus makan dan minum, sebagaimana halnya dengan kebutuhan biologis Anda yang satu ini yaitu kebutuhan akan melampiaskan nafsu birahi Anda.

Anda tidak akan kuasa menahannya terus menerus. Mungkin sesaat mungkin dalam satu kondisi Anda mampu, tapi untuk seterusnya tidak. Anda cepat atau lambat akan terkalahkan dan akan terjerumus dalam perbuatan dosa.

Dengan kata lain untuk Anda bisa terhindar dari perbuatan zina, untuk Anda bisa terhindar dari perbuatan maksiat melampiaskan nafsu birahi dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, dengan cara-cara yang menyimpang dari aturan syariat. Tidak ada cara lain kecuali dengan cara menikah, karena Allah Subhānahu wa Ta'āla telah berfirman:

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ ۞ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ

Dan orang-orang yang senatiasa menjaga kemaluan mereka, kecuali dari istri-istri mereka atau pun budak-budak (hamba sahaya) yang mereka miliki. Tatkala mereka melampiaskan nafsunya kepada istri atau pun kepada budak (hamba sahayanya) maka mereka tidaklah tercela." [QS Al-Mukminun: 5-6]

Alias ketika Anda melampiaskannya dengan cara-cara lain, tidak dengan cara menikah, tidak dengan cara melampiaskan kepada budak (hamba sahaya) Anda, sudah bisa dipastikan Anda akan terjerumus dalam perbuatan dosa yaitu zina.
 أعاذنا الله وإياكم

Dan karena perbuatan zina tidak mungkin bisa dihindari kecuali dengan cara menikah maka sebagian ulama menyimpulkan, berarti pernikahan itu wajib hukumnya. Kenapa demikian? Karena:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب و ما لَا يتم ترك الحرم الا به و هو واجب

Meninggalkan zina itu hukumnya wajib, dan untuk bisa meninggalkan zina, tidak mungkin bisa Anda lakukan secara continue (terus menerus) kecuali dengan cara menikah, dengan cara melampiaskan nafsu birahi Anda dengan menikah.

Maka berarti kesimpulannya menikah itu hukumnya wajib, sebagaimana melakukan zina itu haram, dan untuk meninggalkan yang haram ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara menikah. Berarti menikah adalah sarana yang paling efektif atau sarana yang efektif untuk bisa membendung diri Anda dari perbuatan zina. Maka hukumnya wajib.

Namun demikian tentu kalau kita renungkan dengan baik, kita analisa kembali berbagai pendapat di atas, berbagai dalil yang mereka utarakan niscaya dalil-dalil yang mereka utarakan tersebut sejatinya tidak saling beradu, tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi.

Karenanya sebagian ulama sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dan yang lainnya, menyimpulkan bahwa seharusnya yang kita lakukan bukan memperadukan dalil-dalil ini, tetapi mengkombinasikannya, menyinkronkan semua dalil ini untuk bisa kita lakukan, untuk bisa kita kompromikan sehingga menghasilkan satu kesimpulan hukum yang lebih akurat.

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf kepada Anda, di manapun Anda berada.

Dan sebagai penutup,
 سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك.
Sampai jumpa di lain kesempatan.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 06 : Hukum Asal Jual Beli Adanya Hak Pembatal Akad

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Senin, 16 Jumadil 'Ula1443 H/20 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 06 : Hukum Asal Jual Beli Adanya Hak Pembatal Akad

〰〰〰〰〰〰〰

HAK PEMBATAL AKAD


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن علَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم عدد من
تعلم و علم اما بعد

Ikhawaniy A'ādzaniyallāh wa Iyyakum wa Rahimakumullāh.

Ini pertemuan kita yang keenam dari kajian tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan jual beli. Kita telah sampai pada kaidah yang kedelapan, yaitu:

األصل ثبوت الخيار في البيوع

▪︎ Hukum Asal Jual Beli Adanya Hak Pembatalan Akad

Apa maksudnya?

Maksudnya adalah setiap transaksi jual beli memberikan hak pilih kepada penjual atau pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Dalam istilah fiqih lebih dikenal dengan istilah khiyar (pilihan untuk membatalkan akad).

Diantara jenis-jenis khiyar atau hak untuk membatalkan akad, adalah:

⑴ Khiyar Majelis

Khiyar mejelis adalah hak untuk membatalkan akad baik penjual dan pembeli selama mereka berdua masih berada dalam satu majelis.

Selama mereka berada dalam majelis akad, dalam tempat transaksi, maka mereka berdua (penjual dan pembeli) memiliki hak pilih untuk membatalkan akad tersebut walaupun jual belinya telah selesai.

Selama mereka masih bersama, selama mereka masih berada di satu tempat transaksi, maka mereka masih diperkenankan untuk membatalkan akad.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
 
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ يَقُولُ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ اخْتَرْ ‏

"Dua orang yang melakukan transaksi jual beli memiliki hak untuk melanjutkan atau membatalkan akad, selama mereka berdua belum berpisah atau ketika salah seorang di antara keduanya berkata kepada yang lainnya: putuskanlah, selesaikanlah, pilihlah."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 2109)

Kapan hak ini hilang?

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

 مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا

"Selama mereka belum berpisah."

Maknanya adalah ketika mereka telah berpisah, ketika pembeli telah meninggalkan majelis akad, maka ketika itu hilanglah hak pilih. Maka akad menjadi lazim dan tidak boleh lagi penjual atau pembeli membatalkan akadnya. Kecuali mereka berdua sama-sama ridha untuk membatalkan akad.

Kalau seandainya pembeli kembali lagi kepada si penjual lalu mengatakan, "Afwan, ana tidak jadi beli barang ini," (misalkan) maka penjual memiliki hak untuk menolak permintaan pembeli karena akad telah selesai.

Namun selama mereka bersama, selama mereka belum berpisah (masih di satu tempat) masih di tempat jual beli, masih di tempat transaksi, ketika pembeli membatalkan maka hal itu diperkenankan.

Misalkan, membeli sebuah barang. Lalu dia berdiri di situ ngobrol dengan penjual selama 10 menit atau 15 menit. Lalu dia berubah pikiran dan berkata kepada penjual, "Afwan, ana tidak jadi beli," lalu dia batalkan, "Kembalikan lagi duit saya," maka hal itu diperkenankan.

Inilah yang dinamakan oleh para ulama khiyar majelis. Jadi selama  mereka belum berpisah.

Tetapi ketika mereka berpisah maka tidak ada lagi khiyar, tidak ada lagi hak pilih untuk membatalkan akad
Atau salah seorang diantara keduanya berkata kepada pihak lain, misalkan:

"Putuskanlah," "Selesaikanlah," "Hilangkan khiyarmu," "Khiyarkan hakmu," "Gugurkan hakmu," lalu diterima oleh pihak lainnya maka ketika ini akadnya menjadi lazim.

Misalkan:

Pembeli telah selesai membeli barang, barang telah dia pegang uang telah ia serahkan. Lalu penjual berkata kepada pembeli, "Ikhtar." "Sekarang pilih ini selesai atau tidak? Putuskan sekarang!"

Lalu pembeli bilang, "Ana ridha, ana putuskan ana tidak bakal kembalikan barang ini, ana sudah selesai (akad kita selesai)."

Ketika seperti ini, maka hilanglah hak khiyar dari seorang pembeli. Ketika mereka telah sama-sama ridha untuk memutuskan hak, untuk menggugurkan haknya, maka tidak ada lagi memiliki hak untuk membatalkan akad.

Itu yang pertama.

⑵ Khiyar Syarat.

Apa itu khiyar syarat?

Hak membatalkan akad bagi penjual maupun pembeli selama syarat yang disepakati atau selama kurun waktu yang disepakati.

Misalkan:

Pembeli membeli barang kepada penjual lalu pembeli berkata, "Berikan saya waktu selama lima hari untuk membatalkan akad," "Berikan saya kesempatan berikan saya hak lima hari untuk membatalkan akad."

Penjual berkata, "Thayyib, saya berikan waktu lima hari."

Sehingga, ketika barang telah dibawa pulang oleh si pembeli dan uang telah dia serahkan kepada penjual, kemudian dihari yang ketiga pembeli menghubungi penjual kembali lalu dia berkata, "Afwan ana tidak jadi beli," maka ketika itu akad bisa dibatalkan.

Si Pembeli mengembalikan barang yang telah dibeli dan Si Penjual mengembalikan uang yang telah dia terima. Karena kesepakatan awal (syarat) tadi diajukan oleh seorang pembeli, "Berikan saya waktu selama lima hari." Ketika penjual meridhai hal tersebut maka syarat tersebut wajib dilaksanakan.

Thayyib, itulah yang dinamakan dengan khiyar syarat. Ini khiyar hak pilih (melanjutkan atau membatalkan) sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli, sesuai dengan syarat yang diajukan.

Dan ini termasuk dengan kaidah yang sebelumnya, hukum sesuai dengan syarat yang diajukan. Dan hal ini sah selama tidak bertentangan dengan syariat Islām.

⑶ Khiyar Ghabn

Khiyar hak pilih yang diberikan kepada seorang pembeli, ketika pembeli merasa tertipu karena harganya jauh dari harga pasar.

Contoh:

Si A datang kepada Si B ingin membeli sebuah barang. Ketika Si B tahu bahwa Si A ini adalah orang yang tidak paham barang tersebut dan tidak tahu harga pasar, padahal sebenarnya harga tersebut berkisar (misalnya) diantara 100 ribuan, tetapi Si B ini menjual kepada Si A dengan harga 300 ribu dan Si A tidak tahu harganya.

Ketika Si A mengetahui bahwasanya dia tertipu, maka dia diberikan hak untuk mengembalikan barang tersebut kepada Si B.

Kalau seandainya dia ridha maka tidak masalah. Si A ridha, "Ya sudahlah tertipu." Lalu dia meridhai itu, maka hilang (gugur) hak.

Namun seandainya dia ingin menggunakan haknya, dia datangi Si B lalu dia bilang, "Ternyata anda menipu saya, kembalikan lagi uang saya, saya tidak mau menjalankan, saya tidak mau membeli dari anda." Maka hal tersebut diperkenankan.

Karena apa?

Karena dia maghbud, tertipu. Itu khiyar ghabn.

⑷ Khiyar 'Aib

Khiyar 'Aib adalah hak pembatalan akad yang dimiliki oleh seorang pembeli jika dia menemukan aib pada barang yang dijual, setelah transaksi jual beli.

Jadi dia mengetahui adanya aib atau cacat pada barang tersebut setelah akad jual beli. Maknanya adalah kalau seandainya telah dia tahu aib atau cacat tersebut ketika akad dan penjual telah menjelaskan bahwanya barang ini ada cacatnya ini dan itu, lalu mereka sepakat dan pembeli tidak mempermasalahkan hal tersebut, mereka sepakat dengan satu harga maka tidak ada lagi pilihan kepada pembeli untuk membatalkan akad (tidak diperkenankan lagi).

Si A membeli mobil ke Si B. Lalu  dua hari kemudian dia datang lagi dan mengatakan, "Afwan ana tidak ridha dengan cacat itu," maka ini tidak diterima karena dia telah mengetahui cacat itu sebelumnya. Ketika akad terjadi dan dia meridhai hal tersebut.

Namun seandainya penjual tidak menjelaskan cacat yang ada pada mobil tersebut, lalu dua atau tiga hari kemudian Si Pembeli menemukan ada kecacatan di mobil itu, maka dia boleh membatalkan akad atau pilihan kedua dia cukup menerima uang selisih harga.

Misalkan mobil itu harga pasarannya 250 Juta, ketika dia ada cacat yang seperti ini dan ditanyakan kepada orang yang ahli. Kemudian orang ahli itu mengatakan, kalau ada cacat seperti itu harganya cuma 220 Juta.

Maka Si Pembeli di sini tinggal meminta 30 Juta kepada Si Penjual, ganti rugi terhadap cacat yang ada pada mobil yang dia jual. Maka ini diperkenankan.

Kemudian para ulama membahas aib yang mana yang boleh dikomplain oleh seorang pembeli?

Mereka menjelaskan bahwa aib yang boleh dikomplain adalah aib yang bisa mempengaruhi harga. Adapun aib-aib yang dimaafkan adalah cacat yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat atau ahli.

Ketika seorang ahli melihat ternyata mobil ini tidak masalah, tidak mempengaruhi harga (misalkan), maka hal seperti ini tidak dianggap aib yang melazimkan memberikan hak pilih kepada Si Pembeli.

Cacat yang dihitung adalah cacat yang bisa memengaruhi harga seperti yang telah kita jelaskan.

Misalnya, mobil yang memiliki cacat seperti itu harga jualnya menjadi 220 Juta, sedangkan si pembeli ketika tidak mengetahui cacat tersebut dia membeli mobil tersebut 230 Juta, maka hal seperti ini si pembeli diberi dua pilihan:

① Pembeli boleh membatalkan akad secara keseluruhan.

② Pembeli boleh mengambil ganti rugi dari cacat yang dia terima.

Wallāhu Ta'āla A'lam.

Kita cukupkan pembahasan kita sampai sini. Kita telah selesai membahas tentang beberapa kaidah yang berkaitan dengan jual beli dan delapan kaidah yang kita bahas ini adalah kaidah-kaidah dasar yang seharusnya diketahui oleh orang-orang yang bertransaksi jual beli. Terlebih bagi teman-teman yang bekerja sebagai pebisnis atau berjualan.

Maka mereka harus memahami kaidah-kaidah ini jangan sampai dia terjatuh kepada hal-hal yang terlarang dalam syariat Islām.

وصلّى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

________

Rabu, 22 Desember 2021

Hukum Pernikahan (Bagian Pertama)

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 RABU
 | 03 Jumadil Awwal 1443H
 | 08 Desember 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati

🔈 Audio ke-13
📖 Hukum Pernikahan (Bagian Pertama)
~•~•~•~•~

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْد

Alhamdulillah kembali saya hadir ke tengah ruang siar Anda untuk bersama-sama,
  فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ الله
Guna mewujudkan mimpi kita semua yaitu, "Baiti Jannati (Rumahku adalah Surgaku)".

Rumahku adalah Surga duniaku sebelum aku kelak dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala masuk ke dalam Surga di akhirat.

Berbicara tentang pernikahan, satu pertanyaan yang sepatutnya Anda jawab dan kita jawab bersama, sebelum kita melangkah lebih jauh dengan menikah dan membangun rumah tangga.

Apa hukumnya menikah bagi diri saya?

Mungkin Anda telah mendengar, mungkin Anda telah mempelajari tentang hukum pernikahan secara umum dan Anda juga mungkin sering mendengar dan menghadiri langsung prosesi-prosesi pernikahan, walimah-walimahan yang di sana disampaikan ceramah-ceramah umum, mauizhah-mauizhah, ataupun  nasihat-nasihat.

Dan tentunya sebagaimana itu yang saya alami, ketika kita menikah, atau kita menghadiri acara-acara semacam itu, seringkali terbetik dalam diri kita ingin menikah tetapi di saat yang sama pertanyaan lain segera datang dan berkata: "Apakah hukumnya menikah bagi saya, wajibkah, sunnahkah, mubahkah atau bahkan bisa jadi haram?".

Karena tentu pernikahan itu bukanlah satu ritual, satu aktifitas yang suka-suka Anda lakukan, karena pernikahan itu adalah menjalankan tuntunan syari'at. Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam suatu hari, ketika mendapatkan satu fenomena unik di sebagian sahabatnya di mana sebagian pemuda.

Sekali lagi sebagian pemuda dari sahabat beliau bertekad untuk tidak menikah dengan alasan bahwa menikah itu akan menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allāh, sedangkan kita diciptakan di dunia ini, kita hadir di dunia ini dalam rangka menegakkan 'ubudiyyah kepada Allāh.

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menegakkan ibadah kepada-Ku." (kata Allah) [QS Adh-Dhariyat: 56]  

Sebagian pemuda tersebut berpikir bahwa menikah itu akan menyita banyak tenaga, waktu, pikiran sehingga konsentrasi kita beribadah kepada Allāh akan tersita. Maka dia bertekad untuk tidak menikah, apapun risikonya.

Dia sadar bahwa dia butuh, dia punya nafsu, punya syahwat, namun dia bertekad untuk mengendalikan bahkan mengalahkan nafsu tersebut agar dia bisa maksimal beribadah kepada Allah. Itu cara pandang beliau.

Tapi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, beliau diutus dengan دِيْن الْحَنِيفِيَّةُ agama yang moderat, agama yang tengah-tengah, tidak ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri.

Mengetahui gejala yang tidak sehat ini, beliau segera mencari pemuda tersebut dan berusaha meluruskan cara pandangnya. Bahwa pernikahan itu tidak sepatutnya diperadukan dengan ibadah kepada Allah.  

Kenapa? Karena pernikahan bagian dari perintah Allah, pernikahan bagian dari syariat Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam yang bila kita lakukan dengan benar itu akan menjadi ibadah tersendiri, bukan hanya shalat, puasa, haji atau berdzikir tapi menikahpun menjadi ibadah.

Beliau berkata kepada pemuda tersebut:

أَنْت الَّذِي قُلْت كَذَا وَكَذَا

"Engkaukah yang berkata demikian dan demikian?"

Ingin mengoptimalkan waktunya untuk beribadah puasa di siang hari dan shalat di malam hari.

Pemuda tersebut pun mengakuinya dan kemudian Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam meluruskan cara pandang pemuda tersebut, bahwa semangat beribadah tidak sepatutnya mengabaikan pernikahan, karena pernikahan adalah bagian dari ibadah.

Beliau mengatakan:

وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ

"Sungguh demi Allah, yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya."

 إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ ووَأَتْقَاكُمْ لَهُ

"Sungguh aku adalah orang yang paling khasyah, paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dibandingkan kalian semua, walau demikian kesempurnaan takwa, kesempurnaan khasyah yang aku miliki tidak menjadikan aku terhalangi dari makan dan minum, tidur, dan juga dari menikahi wanita."

Kemudian Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menyatakan:

 فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

"Inilah tuntunanku, inilah ajaranku, inilah syariatku."

Sehingga siapapun yang berusaha memperadukan antara ibadah kepada Allah dengan menikah, dengan memenuhi hak biologis dirinya maka itu, فَلَيْسَ مِنِّيْ.

Kata Nabi: Dia tidaklah termasuk dari umatku, dia tidak sedang menjalankan tuntunanku.

Karenanya wajar dan juga seharusnya Anda senantiasa berkata dan bertanya kepada diri Anda agar Anda tidak salah langkah.

Apakah hukum pernikahan bagi saya?
Apakah mubah, sunnah, atau bahkan bisa jadi wajib?

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, kurang dan lebihnya saya mohon maaf kepada Anda, di manapun Anda berada dan sebagai penutup.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك

Sampai jumpa di lain kesempatan.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 05 : Hukum Asal Pengajuan Syarat Jual Beli Diperbolehkan

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Jum'at, 13 Jumadil 'Ula1443 H/17 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 05 : Hukum Asal Pengajuan Syarat Jual Beli Diperbolehkan

〰〰〰〰〰〰〰

HUKUM ASAL PENGAJUAN SYARAT JUAL BELI DIPERBOLEHKAN


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن علَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم عدد من
تعلم و علم اما بعد


Ikhawatiy ahibai A'ādzakumullāh

Dipertemukan kali ini (in syā Allāh) kita kembali melanjutkan pembahasan kita dalam kaidah-kaidah jual beli, yang mana kita telah sampai kepada pembahasan kaidah yang ketujuh yaitu:

الأصل في الشروط الإباحة و الصحة

▪︎ Kaidah Ketujuh | Hukum asal pengajuan syarat jual beli diperbolehkan

Apa maksudnya?

Syarat yang diajukan dalam transaksi jual beli oleh pelaku transaksi pada dasarnya diperbolehkan, ketika seorang penjual atau pembeli melakukan akad transaksi. Salah satu diantara keduanya mengajukan syarat kepada pihak lainnya. Maka hukum asal syarat tersebut adalah diperbolehkan.

Ini perlu dibedakan antara syarat jual beli dengan pengajuan syarat dalam jual beli.

Syarat jual beli ditetapkan oleh syariat, seperti barang harus dimiliki, barangnya harus halal kemudian pelaku transaksi harus orang yang berakal dan sebagainya. Itu namanya syarat jual beli.

Sedangkan yang kita bahas di sini adalah syarat yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dalam sebuah transaksi jual beli.

Misalkan:

Ahmad membeli sebuah mobil kepada Muhammad, lalu Ahmad mengatakan kepada Muhammad, "Saya beli mobil ini dengan syarat nanti bensin atau bahan bakarnya harus full ketika saya beli mobil ini diantarkan ke rumah saya."

"Thayyib," kata Muhammad.

Mereka sepakat misalkan harganya 200 Juta dengan syarat bahan bakar full dan diantarkan ke rumah Ahmad.

Muhammad menyetujui persyaratan tersebut, maka pada asalnya syarat ini dibolehkan dan Muhammad wajib untuk menjalankan syarat yang diberikan kepadanya.

Begitu pula ketika penjual yang mengajukan syarat.

Ahmad membeli mobil Muhammad seharga 200 Juta tetapi Muhammad bilang dengan syarat, "Saya boleh memakainya sampai lima hari ke depan, baru nanti saya antarkan ke rumah Anda."

Lalu Ahmad sebagai pembeli di sini menyetujui syarat tersebut, maka pada dasarnya syarat ini dibolehkan dan Ahmad harus menjalankan apa yang disyaratkan kepadanya.

Namun ada syarat-syarat tersebut yang tidak diperbolehkan.

Kapan itu?

⑴ Ketika syarat tersebut menghilangkan tujuan pokok jual beli.

Sebagaimana telah kita singgung ketika pembahasan jual beli dibangun di atas asas keridhaan

Apa contohnya?

Ketika seorang menjual rumah lalu, lalu dia mengajukan syarat, "Kamu boleh beli rumah saya ini dengan syarat kamu tidak boleh menjual kembali, tidak boleh kamu berikan kepada orang lain dan tidak boleh juga engkau sewakan kepada orang lain (misalkan)."

Maka syarat seperti ini bathil. Tidak boleh mengajukan syarat yang seperti ini, karena dia akan menghilangkan tujuan jual beli sehingga jual beli itu tidak ada lagi manfaat.

Begitu pula ketika syarat tersebut tidak menyelisihi syariat. Seperti syarat yang membuat seseorang mengerjakan yang haram atau meninggalkan kewajiban.

Seperti (misalkan):

Seseorang berkata, "Thayyib, saya jual mobil ini kepadamu dengan syarat Anda meminum khamr yang saya pegang ini (misalkan)." Maka syarat seperti ini bathil, syarat seperti ini tidak boleh diajukan karena bertentangan dengan syariat Islam.

Apa dalīl kaidah segala syarat yang diajukan dalam transaksi jual beli pada asalnya dibolehkan?

Sabda Rasūlullāh ﷺ:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

"Orang-orang Islām itu sesuai dengan syarat yang diajukan kepada mereka."

(Hadīts hasan shahīh riwayat Abu Dawud nomor 3594)

Orang Islām itu dilazimkan untuk mengerjakan, untuk mematuhi syarat-syarat yang diberikan kepada mereka.

Sehingga ketika seseorang mengajukan syarat dan tidak bertentangan dengan syariat, tidak pula menghilangkan tujuan asal maka orang-orang Islām harus memenuhi syarat tersebut.

Kemudian juga yang dijelaskan para ulama dalīlnya adalah bahwa syarat termasuk akad perjanjian.

Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ...  

"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad perjanjian tersebut."

(QS. Al Mā'idah: 1)

Dan syarat termasuk ke dalam akad yang diajukan.

Ketika seorang melakukan transaksi, ketika seorang melakukan sebuah akad dia memasukkan syarat sehingga syarat tersebut termasuk dalam akad jual beli. Maka ketika sama-sama disepakati maka wajib untuk dipenuhi.

Inilah penjelasan singkat tentang kaidah: الأصل في الشروط الإباحة و الصحة , hukum asal syarat yang diajukan atau hukum asal pengajuan syarat dalam transaksi jual beli adalah boleh dan sah.

Wallāhu Ta'āla A'lam.

In syā Allāh kita lanjutkan di pertemuan selanjutnya.

وصلّي الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلّم ثمّ و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

________

Kamis, 16 Desember 2021

Tujuan & Manfaat Pernikahan (Bagian Ketiga)

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _SELASA_
 | _02 Jumadil Awwal 1443H_
 | _07 Desember 2021M_

🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى*
📗 *Fiqih Nikah / Baiti Jannati*

🔈 *Audio ke-12*
📖 *Tujuan & Manfaat Pernikahan (Bagian Ketiga)*
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhanahu wa Ta'ala.

Di antara tujuan kita menikah selain menikah itu adalah sebuah ibadah, pernikahan adalah mengantarkan Anda untuk mengakui tentang keEsaan Allāh. 

Sehingga seperti Allāh gambarkan:

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا

Di antara tanda keagungan Allāh, adalah Allāh menciptakan dari diri kalian pasangan-pasangan kalian لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا - agar kalian mendapatkan kedamaian, ketika kalian kembali kepada istri-istri kalian atau kepada pasangan kalian.

Di antara tujuan kita menikah, tujuan menikah salah satunya adalah Anda melangsungkan, menjadi bagian dari tongkat estafet kepemimpinan di muka bumi ini. 

Allāh telah menciptakan manusia sebagai khalifah. 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَـٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةًۭ

"Dan ingatlah tatkala Rabb-Mu berkata kepada para malaikat, Aku akan menciptakan khalifah/pemimpin di muka bumi ini." [QS Al-Baqarah: 30]

Dan Allāh dalam ayat lain, Allāh juga dengan tegas mengatakan: 

وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ 

"Allāh menginginkan memerintahkan kalian agar memakmurkan bumi ini." [QS Hud: 61]

Sehingga terjadinya proses lahir melahirkan, lahir melahirkan, pernikahan kemudian terjadi proses kelahiran, itu adalah bagian dari rencana Allāh, itu bagian dari perintah Allāh agar dunia ini terus makmur dengan ibadah kepada Allāh Subhanahu wa Ta'ala.

Andai dunia ini tidak dimakmurkan, tidak diramaikan dengan ibadah maka dunia ini tidak ada artinya dihadapan Allāh. 

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا

Kata Nabi: "Dunia ini terkutuk, jauh dari kasih sayang Allāh jauh dari rahmat Allāh Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana penghuninya, semua jauh dari kasih sayang Allāh."

إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

Kecuali segala sesuatu yang itu adalah dzikir kepada Allāh atau hal yang mendukung terlaksananya dzikir ibadah kepada Allāh Subhanahu wa Ta'ala.

Dan pernikahan itu menjadi salah satu ketentuan alam yang telah Allāh tentukan agar di dunia ini terus tercipta, terlahir hamba-hamba Allāh yang akan mengikrarkan, beribadah kepada Allāh menegakkan dzikir kepada Allāh Subhanahu wa Ta’ala.

Karena itu Nabi berpesan kepada umatnya:

 تََزَوَجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ يوم القيامة 

Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang penyayang (الوَدُوْدَ), subur (الْوَلُوْدَ). Karena aku nanti dihadapan Allāh akan saling membandingkan (berbanding-bandingan) umat dengan para nabi.

Apa fungsinya? Kenapa banyaknya umat dijadikan sebagai sebuah perbandingan (kebanggaan)? Kenapa Nabi sampai mengharapkan, sangat mengharap agar umat beliau menjadi umat yang terbesar? 

Karena beliau mendapat tugas dari Allāh Subhanahu wa Ta'ala sebagai seorang Rasul, sebagai seorang Nabi untuk mengajak manusia mengikrarkan, melantunkan ibadah, mengikrarkan tauhid, ibadah kepada Allāh Subhanahu wa Ta’ala yang itu merupakan fungsi dari diciptakannya manusia.

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ

"Serulah manusia untuk berbondong-bondong menuju jalan Allāh dengan cara-cara yang bijak." [QS An-Nahl: 125]

Sehingga dengan pernikahan terlahirnya anak keturunan, berarti kita telah mensukseskan misi menjadikan dunia ini makmur dengan ibadah kepada Allāh Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara tujuan pernikahan yang ini menjadi poin terakhir yang saya sampaikan pada kesempatan ini, bahwa pernikahan itu adalah suatu benteng yang kokoh, suatu bata yang harus kita susun untuk menciptakan masyarakat yang muslim dan muslimah.

Kalau rumah tangga itu harmonis maka seluruh masyarakat pun akan segera harmonis, tapi ketika rumah tangga itu rusak, satu rumah tangga rusak, satu rumah tangga lagi rusak, maka tatanan masyarakat itu akan rusak semuanya.

Untuk itu kita harus sadar bahwa baiknya masyarakat majunya suatu negeri, jayanya suatu negeri diawali dari rumah tangga. Bagaimana Anda mendidik anak keturunan Anda. Bagaimana Anda tolong menolong membangun generasi masa depan.

Anda, ketika Anda menikah bukan lagi saatnya untuk berpikir, "Saya mencari kepuasan seksual, mencari kepuasan ini dan itu", Tidak! 

Tetapi Anda harus berorientasi ke depan dari rumah tangga inilah akan terlahir pemimpin-pemimpin di masa depan. Dari keluarga ini akan terlahir orang-orang shalih yang akan memimpin dunia ini, memakmurkan dunia ini dengan ibadah kepada Allāh Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu Nabi dulu berpesan kepada kaum suami (calon-calon suami), beliau mengatakan:

تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ

"Kalau kalian ingin menikah, menyalurkan nafsu, pilihlah di mana engkau akan meletakkan benihmu itu, jangan sembarangan engkau menikah yang penting cantik jelita.

تُنْكَحُ المرأَةُ لِأَرْبَعٍ

Wanita itu dinikahi karena empat alasan (biasanya empat alasan). Karena kecantikan, harta, jabatan (kedudukan), dan karena agama.

فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ

Kata Nabi, "Pilihlah wanita yang beragama."

تَرِبَتْ يَدَاكَ

Niscaya engkau akan beruntung.

Karena dari wanita yang shalihah akan terlahir generasi-generasi yang shalih dan shalihah, sebaliknya demikian pula jangan nikahkan anak Anda dengan orang yang kaya, tampan tapi tidak mempunyai agama. 

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ 

Kalau datang kepadamu lelaki yang agamanya engkau ridhai, agamanya baik,

وَخُلُقَهُ
Akhlaknya baik, 
فأَنكِحُوا - 
Nikahkan dia, terima lamarannya karena dari merekalah akan terlahir generasi-generasi yang shalih.

Karenanya saudaraku seiman dan seaqidah, di manapun Anda berada.

Generasi masa depan pemimpin masa depan terletak pada rumah tangga. Masa depan negara kita sangat bergantung kepada kesuksesan kita membangun rumah tangga. 

Karena itu jangan lihat rumah tangga itu hanya kesenangan sesaat tetapi itu adalah kesuksesan masa depan, masa depan negara kita, masa depan bangsa kita, masa depan masyarakat kita, sangat bergantung bagaimana kita menikah, bagaimana kita mengarungi bahtera rumah tangga ini.

Sebagai penutup, saya berpesan tujuan-tujuan yang mulia tersebut tidak akan bisa terwujud hanya berbekalkan dengan modal kekuatan kita kehebatan ilmu kita, keluasan pengalaman kita. Tidak! 

Semua itu hanya bisa terlaksana dengan pertolongan dan karunia Allāh Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu senantiasa lantunkanlah doa kepada Allāh, agar Allāh membenahi rumah tangga kita, membenahi anak keturunan kita.

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ

Para Nabi saja berdoa: 

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ

"Yaa Allāh, berikanlah aku keturunan yang shalih." [QS As-Saffat: 100]

Para Nabi juga berdoa: 

وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ

"Benahilah anak keturunanku." [QS Al-Ahqaf: 15]

Dan masih banyak lagi doa-doa yang dicontohkan oleh para ulama, para orang-orang shalih dan para Nabi tentunya, bagaimana kita terus bersandar kepada Allāh, memohon kepada Allāh agar rumah tangga kita betul-betul menjadi baitiy jannatiy (بيتي جنتي).

Wallahu Ta'ala A'lam. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 04 : Akad jual beli hanya dibolehkan apabila barang (objek transaksi) dimiliki penjual

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Kamis, 12 Jumadil 'Ula1443 H/16 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 04 : Akad jual beli hanya dibolehkan apabila barang (objek transaksi) dimiliki penjual 

〰〰〰〰〰〰〰

*AKAD JUAL BELI HANYA DIBOLEHKAN APABILA BARANG DIMILIKI PENJUAL* 


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن و علَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على سيدنا محمّد الذي ارسله الى سائر الانام وعلى آله وصحبه وسلم عدد من تعلن علما، أما بعد


Ikhwāniy wa Akhawatiy yang semoga kita semuanya dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Pada pertemuan kali ini (in syā Allāh) kita akan membahas kaidah yang keenam, diantara kaidah-kaidah yang berlaku pada transaksi jual beli.

Kaidah keenam yang akan kita bahas pada pertemuan kali ini yaitu: 

لَا ينعقد البيع إلا من مالك أو مأذون له 

_▪︎ Kaidah Keenam | Akad jual beli hanya dibolehkan apabila barang (objek transaksi) dimiliki penjual atau dijinkan oleh yang memiliki barang_

Akad jual beli hanya dibolehkan (dianggap sah) apabila barang yang menjadi objek transaksi itu dimiliki oleh Si Penjual atau uang yang dijadikan objek transaksi dimiliki oleh Si Pembeli atau kalau pun dia tidak memiliki dia diberikan izin untuk menggunakan barang atau uang tersebut.

Jadi ketika seseorang misalkan menjual barang padahal bukan miliknya maka ini tidak diperbolehkan dalam agama kita (Islām). 

Landasannya apa? 

Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala shahabat Hakim bin Hizam radhiyallāhu 'anhu bertanya kepada Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

Hakim bin Hizam berkata:

يجأءني الرَّجُلُ

_"Datang kepadaku seseorang."_

Lalu memintaku membelikan untuknya sebuah barang yang tidak aku miliki.

Lalu Hakim bertanya: 

أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ

_"(Ya Rasūlullāh,) apakah boleh aku membeli barang tersebut di pasar, lalu aku jadikan barang itu untuk dijual kepada orang tersebut?"_

Tatkala mendengar pertanyaan Hakim bin Hizam ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

_"(Ya Hakim,) janganlah engkau menjual barang yang belum engkau miliki."_

(Hadīts shahīh riwayat Abu Dawud nomor 3503)

Ini menjadi landasan bahwasanya tidak boleh kita menjual barang yang belum kita miliki dan ini biasanya terjadi di transaksi pada bank konvensional.

Kita datang ke bank lalu kita katakan, "Saya ingin membeli sebuah mobil."

Apa yang dilakukan bank?

Bank memberikan kita sejumlah uang atau cek dan disuruh kita untuk membawanya ke showroom (misalkan) atau kepada orang yang menjual mobil, agar kita bisa menyerahkan uang (cek) tersebut, sehingga kita bisa membawa mobil.

Yang mana sebelum bank memberikan uang, kita harus menandatangani surat perjanjian yaitu akad bahwasanya kita membeli mobil dari bank. Maka ini dilarang di dalam syari'at Islām.

Kenapa? 

Karena bank belum memiliki mobil tersebut namun dia (bank) telah menjualnya. Tidak boleh seseorang menjual barang kecuali ketika dia telah memiliki barang tersebut. Maka pada hakikatnya yang dilakukan bank tersebut sama seperti pinjaman.

Bank memberikan kita pinjaman misalkan 500 Juta lalu kita belikan mobil, lalu kita kembalikan uang 500 Juta tersebut kepada bank dengan tambahan 100 Juta (misalkan). Jadi kita bayar ke bank 600 Juta. Ada 100 Juta tambahan yang mana ini bisa menjadi riba.

Bank bisa saja menjual mobil kepada nasabahnya dengan syarat dia (bank) beli dulu mobil tersebut baru kemudian dilakukan transaksi dengan pembeli. Barulah hal ini dibolehkan.

Maka tidak boleh kita melakukan jual beli kecuali dengan barang yang kita miliki atau kalau pun kita tidak memiliki barang, Si Pemilik barang mengizinkan kita untuk melakukan transaksi dengan barang tersebut.

Dalīlnya apa? 

Kisah 'Urwah Al Bariqy, yang mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dahulu meminta Beliau untuk membelikan seekor kambing. Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan dua dinar agar 'Urwah Al Bariqy membelikan seekor kambing.

Lalu 'Urwah Al Bariqy pergi ke pasar dan beliau menawar harga kambing, seharusnya harga kambing itu dua dinar lalu ditawar menjadi satu dinar. Lalu 'Urwah Al Bariqy membeli dua ekor kambing dan satu ekor kambing dijual oleh 'Urwah seharga 2 dinar.

Lalu 'Urwah datang kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan memberikan kambing dan mengembalikan uang dua dinar, sampai-sampai Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendoakan keberkahan untuk 'Urwah Al Bariqy. 

Di sini 'Urwah Al Bariqy melakukan transaksi dengan dua dinar yang diberikan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, dua dinar itu bukan milik 'Urwah tetapi milik Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Namun 'Urwah di sini diberikan izin oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk menggunakan uang tersebut untuk bertransaksi dengan penjual kambing.

Sehingga kita katakan, boleh tidak dimiliki namun diizinkan oleh si pemilik barang. Maka kaidah ini penting untuk kita pahami.

In syā Allāh kita akan lanjutkan kembali pada kaidah berikutnya pada pertemuan berikutnya.

Wallāhu Ta'āla A'lam 

وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

____________________

Rabu, 15 Desember 2021

Jenis-jenis Isim

 
 
 
1. Isim Mufrod
Isim mufrod adalah yang menunjukkan jumlah satu، contoh: 
بيت - دفتر - ولد

2. Mutsanna
Mutsanna adalah yang menunjukkan jumlah dua dengan menambah Alif dan nuun (ان) atau ya' dan nuun (ين) di akhirnya, contoh:
بيت -> بيتان / بيتين
ولد -> ولدان / ولدين

3. Jamak
a. Jamak Mudzakkar Salim
Jamak Mudzakkar Salim adalah yang menunjukkan jumlah jamak dengan menambah wau dan nuun (ون) atau ya' dan nuun (ين) di akhirnya, contoh:
مسلم -> مسلمون / مسلمين
كافر -> كافرون / كافرين

b. Jamak Muannats Salim
Jamak Muannats Salim adalah yang menunjukkan jumlah jamak dengan menambah Alif dan ta' (ات) di akhir nya, contoh:
صالحة -> صالحات
حسنة -> حسنات

c. Jamak Taksir
Jamak Taksir adalah yang berubah dari bentuk mufrod nya, contoh:
ولد --> أولاد
بيت--> بيوت
Dan mengenalnya dengan rujuk ke kamus dan banyak memperhatikan bacaan.


Tujuan & Manfaat Pernikahan (Bagian Kedua)

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _SENIN_
 | _01 Jumadil Awwal 1443H_
 | _06 Desember 2021M_

🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى*
📗 *Fiqih Nikah / Baiti Jannati*

🔈 *Audio ke-11*
📖 *Tujuan & Manfaat Pernikahan (Bagian Kedua)*
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhanahu wa Ta'ala.

Di antara tujuan kita menikah bukan karena kita hiperseks, gila, haus, nafsu. Tidak! Selain ibadah, selain betul dalam pernikahan itu melampiaskan nafsu, tetapi ingat dalam pernikahan konsep tolong-menolong itu nyata. 

Suami menolong, melindungi, melayani, membimbing, menyantuni. Istripun demikian. Melayani, membantu, mendukung, mengabdi, kemudian berbakti kepada suami. Subhanallah. 

Sehingga terciptalah tolong-menolong luar biasa, kesetiaan yang luar biasa. Karena Allāh telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sosial, tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, pasti butuh kepada kehadiran orang lain. Siapapun kita. 

Sehingga suami harus berpikir bahwa dia menjadi suami bukan untuk mengeksploitasi. Tapi dia melayani, menyantuni, melindungi, membimbing maka itu dalam Al-Qur'an Allāh katakan,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ
[QS An-Nisa: 34]

Lelaki suami itu pemimpin yang bertugas, قَوَّٰم (meluruskan, membimbing) istrinya. 

Kemudian dalam Al-Qur'an Allāh juga katakan,

وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Kaum wanita itu punya hak yang harus engkau tunaikan wahai kaum lelaki, wahai kaum suami. Yang hak wanita itu setimpal dengan kewajiban yang mereka jalankan.” [QS Al-Baqarah: 228]

Sehingga dalam rumah tangga bukan hanya eksploitasi, tapi yang lebih dilakukan adalah melayani. Karena itu jangan sampai menjadi suami yang hobi menginventaris hak. Tetapi jadilah suami yang rajin menginventaris kewajiban. 

Kewajiban diri Anda kepada istri. Kalau Anda sebagai seorang wanita, kewajiban sebagai seorang istri apa yang harus Anda lakukan untuk suami. Sehingga terjadi kesetiaan yang timbal balik karena semangat menikah bukan eksploitasi. 

Menikah itu adalah melayani, menikah itu adalah melindungi, menikah itu adalah untuk memberi, bukan mengemis. Kita menikah bukan untuk mengemis cinta. Kita menikah bukan untuk mengemis pelayanan, tetapi kita menikah untuk memberi kedermawanan. Jiwa seorang mukmin telah ditanam oleh Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dengan sabdanya,

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Jadilah orang yang senantiasa bersemangat memberi lebih, dibanding semangat menerima.”

Suami tidak sepatutnya menjadi suami pengemis. Suami bermental pengemis. Yang hanya bisa meminta, meminta, meminta kepada istrinya. Tapi tidak memiliki semangat, tidak memiliki dedikasi untuk memberi dan melayani dan melayani. 

Istripun demikian, tidak sepatutnya istri itu hanya mengeksploitasi suami. Apa yang saya dapat? Apa lagi yang saya harus minta dari suami? Tetapi istri sepatutnya menjadi istri yang dermawan. Yang terus melayani dan terus melayani tanpa pamrih. 

Kenapa? Karena di sanalah terletak surganya. Di sanalah terletak surganya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.

“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).

Kalau wanita itu sudah rajin menunaikan shalat lima waktu, senantiasa berpuasa Ramadhan dan senantiasa tunduk patuh kepada suaminya. Apa yang terjadi? 

Kelak di hari kiamat akan dikatakan kepadanya, “silahkan engkau masuk ke dalam surga dari pintu surga yang 8 itu dari manapun engkau suka.” 

Sebaliknya suami ketika suami hanya bisa mengeksploitasi, meminta, meminta, meminta haknya tapi dia tidak respek, dia tidak peduli, bahkan mungkin dia mengabaikan sebagian atau bahkan mungkin banyak dari hak istrinya. Apa yang terjadi? Pintu neraka yang terbuka, bukan pintu surga yang terbuka.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ

“Cukup sebagai dosa besar yang akan menjerumuskan engkau ke dalam neraka bila engkau itu telah menelantarkan nafkah orang yang wajib engkau nafkahi.” 

Dan para ulama sepakat orang pertama yang harus dinafkahi adalah istri dan anak keturunannya. Karena itu jangan jadi suami yang bermental pengemis, jangan menjadi istri yang bermental sebagai pengemis. Jadilah suami, jadilah istri yang bermental

الْيَدُ الْعُلْيَا

“Tangan berada di atas. Lebih suka melayani.”

Itu yang digambarkan oleh Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu Ta'ala Anhu. Ketika suatu hari didapatkan beliau berdandan cakep, ganteng, rupawan, tampan rupawan. 

Murid-muridnya heran. Engkau seorang ulama besar berdandan seperti ini. Apalagi dia seorang ahli tafsir. Pantaskah seorang ulama besar berdandan, perlente, sehingga tampan. Maka, Abdullah Ibnu Abbas memberikan alasan yang sangat menakjubkan.

إني لأحب أن أتزين للمرأة، كما أحب أن تتزين لي
 
Aku berdandan, aku senang berdandan karena aku pun senang bila istriku berdandan. Jadi aku berdandan bukan agar engkau puji. Tapi agar istriku senang. Sebagaimana kalau istriku berdandan tampak cantik jelita aku pun senang. 

Muhammad ibn Ali ibn Ali Husain bin Abi Thalib, atau yang lebih dikenal dengan Muhammad al-Hanafiyah. Suatu hari menemui tamu, menemui murid-muridnya dengan menggunakan kain syal yang berwarna merah kemudian janggutnya atau jenggotnya meneteskan misk. Sehingga sangat harum sekali beliau menemui tamu. 

Murid-murid beliau segera bertanya, “Subhanallah engkau mengenakan minyak wangi yang sedemikian harum. Ada acara apa? Mau ke mana? Ada momentum apa? Sehingga minyak wangi yang kau kenakan begitu semerbak. Dan engkau penampilannya luar biasa, kelihatan tampan rupawan”. 

Apa katanya? Ini syal yang melekat di punggung ini adalah, itu baru saja dipakaikan oleh istriku ketika aku hendak keluar. Istriku yang mendandani. Dan minyak wangi yang menetes dari janggut ku ini adalah istriku yang memberi. Subhanallah. 

Tentu istri ingin suaminya semerbak harum. Penampilannya tampan. Jadi dia berdandan bukan untuk Anda. Jangan kira saya berdandan karena Anda. Tapi ini berdandan adalah untuk menuruti hasrat istri. Memuaskan kemauan istri. Subhanallah.

Itulah rumah tangga yang harmonis, Subhanallah. 

Sekali lagi jangan jadi suami yang bermental pengemis, istri yang bermental pengemis. Tapi jadilah suami yang bermental dermawan, menyantuni, melindungi, melayani. 

Sebagaimana jadilah istri yang dermawan. Istri yang senantiasa berorientasi melayani suami, memuaskan suami. Bukan hanya bertanya apa yang telah saya dapat dari suami.

 Wallahu Ta'ala A'lam.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 03 : Jual beli dibangun di atas Keridhaan

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Rabu, 11 Jumadil 'Ula1443 H/15 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 03 : Jual beli dibangun di atas Keridhaan 

〰〰〰〰〰〰〰

*JUAL BELI DIBANGUN DI ATAS KERIDHAAN* 


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن وعلَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم عدد من علم و تعلم اما بعد


Ikhwātil Kirām A'ādzakumullāh. 

Kita kembali melanjutkan pembahasan kita, dalam kaidah-kaidah yang berkaitan dengan jual beli. Di pertemuan sebelumnya kita telah sampai di kaidah yang ketiga yaitu: القصود مؤثرة في العقود , niat seorang mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah transaksi jual beli.

Di pertemuan kali ini kita masuk pada kaidah keempat yaitu:

إنما البيع عن تراض

_▪︎ Kaidah Keempat | Jual beli dibangun di atas keridhaan_

Jual beli dibangun di atas asas suka sama suka atau keridhaan. 

Apa maksudnya? 

Maksudnya adalah jual beli dianggap tidak sah kecuali apabila kedua pelaku transaksi sama-sama suka atau ridha. Ketika salah satu pihak terpaksa, tidak ridha, maka tidak sah jual beli tersebut.

Para ulama menjelaskan kaidah ini berlaku apabila terpenuhi tiga syarat, jadi tidak berlaku secara mutlak, harus terpenuhi tiga syarat baru ridha itu bisa dianggap.

⑴ Bukan pada transaksi yang diharamkan.

Misalkan: 

Dua orang sedang bertransaksi riba (suka sama suka/ridha sama ridha). 

Misalkan jual beli emas (perhiasan) kualitas bagus 10 gram ditukar dengan emas 12 gram namun kualitasnya jelek, sudah tidak mengkilap, modelnya lama dan tidak bagus.

Terjadi tukar menukar emas, berbeda 10 gram dengan 12 gram, ini akad riba sebagaimana in syā Allāh nanti akan kita jelaskan di pertemuan khusus yang membahas riba. 

Akad ini riba walaupun orangnya ridha sama ridha (suka sama suka), maka tetap akad ini tidak diperbolehkan, karena pada asalnya akad tersebut terlarang di dalam agama kita (Islām). 

Ridha Allāh Subhānahu wa Ta'āla harus lebih dikedepankan daripada ridha makhluk. 

Jadi tidak ada alasan ketika seseorang bertransaksi dengan bank (transaksi riba, misalkan) dengan beralaskan kita ridha sama ridha. Maka kita harus lihat dulu ridha Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Itu syarat yang pertama.

⑵ Tidak boleh menghilangkan tujuan asal jual beli.

Seorang menjual barang lalu dibeli oleh orang lain. Gunanya apa? 

Yaitu terjadinya pertukaran, agar orang lain bisa memanfaatkan barang yang dibeli atau ditukar. 

Misalkan: 

Ahmad menjual rumahnya kepada Muhammad, lalu Ahmad berkata kepada Muhammad, "Ya Muhammad, rumah ini saya jual, tetapi dengan syarat engkau tidak boleh menempati rumah ini, engkau tidak boleh menjualnya, tidak boleh disewakan dan tidak boleh diberikan kepada orang lain."

Para ulama mengatakan, "Walaupun mereka berdua ridha, namun transaksinya tidak sah". Karena menghilangkan tujuan asal jual beli. Lalu apa gunanya jual beli kalau seandainya dia benar-benar tidak bisa menggunakan rumah tersebut. Ini yang kedua.

⑶ Tidak ada sebab syari' atau alasan yang menghilangkan keridhaan tersebut (sehingga ridhanya tidak dianggap lagi).

Contohnya:

Ketika seorang terlilit utang lalu dia bangkrut. Orang-orang yang meminjamkan hartanya (kreditur) mereka datang kepada hakim. 

Mereka mengatakan, "Hakim, Si Fulan berutang banyak kepada kami, maka tolong diputuskan."

Jika hakim memutuskan perkara dengan menjual barang-barang milik orang yang berutang, maka ini diperbolehkan walaupun orang yang berutang tidak ridha barang-barang miliknya dijual. Namun ketika hakim memutuskan maka keridhaannya tidak lagi dianggap, karena ada hak orang yang berkaitan dengan harta tersebut (ada hak orang yang harus dipenuhi).

Apabila tiga syarat ini terpenuhi: 

① Tidak pada barang yang diharamkan.
② Tidak pula menghilangkan tujuan asal jual beli.
③ Tidak pula dalam masalah-masalah yang keridhaan menjadi tidak dianggap.

Maka keridhaan menjadi syarat jual beli itu dianggap sah.

إنما البيع عن تراض

_"Jual beli dibangun di atas keridhaan."_

Kalau dia tidak ridha maka tidak sah.

Dalīl dari kaidah ini adalah: 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ ........

_"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu..."_

(QS. An Nissā': 29)

Dari sini kita lihat bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengatakan, "Perdagangan yang dibangun di atas keridhaan."

Kemudian sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

_"Sesungguhnya jual beli itu dibangun di atas keridhaan (suka sama suka)."_

(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah nomor 2185)

Kemudian sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

أَلَا وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ شَيْءٌ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

_"Ketahuilah tidak halal bagi seseorang, harta saudaranya sedikit pun (tidak boleh diambil sedikit pun) kecuali dengan keridhaannya."_

(Hadīts riwayat Ahmad nomor 21082)

Kalau dia relakan baru itu dibolehkan.

Tidak boleh berpindah kepemilikan kecuali dengan keridhaan orang yang memiliki barang tersebut. Itu kaidah yang keempat.

لا ينعقد البيع إلا على مال

_▪︎ Kaidah Kelima | Akad jual beli dibolehkan pada harta_

Akad jual beli hanya dibolehkan kalau objek transaksinya adalah harta.

Penjelasannya adalah:

Jual beli tidak boleh dilakukan kecuali objek transaksinya adalah harta dan maksud dari harta yang dikatakan para ulama adalah: Segala sesuatu yang dibolehkan manfaatnya secara mutlak sesuai dengan 'urf masyarakat.

Jadi kaidah tersebut ada tiga objek jual beli yang tidak dibolehkan, diantaranya:

⑴ Benda tersebut haram

Karena kita katakan tadi, jual beli hanya boleh pada harta dan harta adalah segala sesuatu yang dibolehkan manfaatnya. Berarti ketika benda tersebut tidak boleh dimanfaatkan (diharamkan manfaatnya) maka tidak boleh diperjual belikan.

Dan ini telah kita singgung juga di kaidah yang pertama.

Contohnya:

Alat musik, alat musik tidak boleh dimanfaatkan (haram untuk dimanfaatkan).

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 
)
سيكون مِن أُمَّتي من يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحَرِيرَ، والخَمْرَ والمَعازِفَ

_"Akan datang diantara umatku orang yang menghalalkan sutra, menghalalkan zina, menghalalkan khamr, dan menghalalkan alat musik."_

Menunjukkan bahwasanya alat musik ini diharamkan sehingga datang nanti orang yang menghalalkan, maka tidak boleh dimanfaatkan, sehingga apapun yang tidak boleh dimanfaatkan, tidak boleh dijual belikan. 

⑵ Benda yang boleh dimanfaatkan dalam keadaan tertentu (tidak mutlak) hanya boleh digunakan dalam keadaan tertentu.

Seperti: Anjing pemburu.

Anjing boleh dimanfaatkan dalam keadaan berburu namun tidak dibolehkan secara mutlak. Tidak boleh seorang memelihara anjing kecuali dalam keadaan tertentu. Maka yang seperti ini juga tidak boleh diperjual belikan.

⑶ Benda yang sama sekali tidak memiliki manfaat.

Seperti: nyamuk, kecoa.

Maka kita ketahui zaman sekarang tidak ada orang yang menganggap nyamuk itu memiliki manfaat sehingga diperjual jual belikan atau kecoa (misal). Maka benda-benda seperti ini tidak boleh diperjual belikan.

Dan ini dikembalikan kepada 'urf masyarakat. 

Apakah benda itu bermanfaat atau tidak? 

Seandainya dia tidak memiliki manfaat maka dia tidak boleh diperjual belikan. Namun seandainya sepuluh tahun lagi dia menjadi bermanfaat, maka bisa jadi di sepuluh tahun kemudian itu boleh diperjual belikan, ini dikembalikan kepada 'urf masyarakat.

Kecuali hal-hal yang diharamkan secara syari'at maka ini tidak berubah (tidak boleh diperjual belikan)

Apa dalīl dari kaidah ini?

Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

إنَّ اللهَ إذا حرَّمَ شَيئًا حرَّمَ ثَمَنَه

_"Sesungguh Allāh Subhānahu wa Ta'āla apabila mengharamkan sesuatu maka Allāh akan mengharamkan harganya."_

(Hadīts riwayat Ibnu Hiburan nomor 4938)

Begitu pula dengan hadīts yang kita bahas di pertemuan yang pertama:

إنَّ الله إذا حرَّم اكل شيء حرَّم ثمنه

_"Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla apabila mengharamkan untuk memakan sesuatu maka Allāh haramkan jual belinya."_

Kemudian dalīl berikutnya adalah ijma' (kesepakatan) para ulama sebagaimana dinukilkan oleh Imam An Nawawi rahimahullāh. 

Beliau berkata:

أنْ يَكونَ مُنتَفَعًا به وهذا شَرطٌ لِصِحَّةِ البيع بِلا خِلافٍ

_"Objek jual beli haruslah sesuatu yang memiliki manfaat dan ini termasuk syarat sah jual beli tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama."_

(Almajmu: 9/239)

Maka kita katakan jual beli itu hanya boleh pada sesuatu yang memiliki manfaat, yang mana manfaatnya itu dibolehkan untuk menggunakannya secara mutlak. Dan ini sesuai dengan 'urf masyarakat.

In syā Allāh, akan kita lanjutkan kaidah berikutnya di pertemuan selanjutnya.

Wallāhu Ta'āla A'lam.

وعلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

____________________

Selasa, 14 Desember 2021

Jenis-jenis Al Kalimah (kata)

Jenis-jenis Al Kalimah (kata)
1. ​Isim. 
2. ​Fi'il.
​3. Huruf.

1. Isim 
Isim adalah kata yang menunjukkan suatu makna dan tidak dikaitkan dengan waktu, contoh: محمد - أستاذ - تلميذ - خيل - كلب

Tanda-tanda isim:
a. ​Khafad (الخفض)
b. ​Tanwin
c. Alif dan Laam
d. Huruf Jar

Huruf jar adalah
من - إلى - عن - على - في - رب - الباء - الياء - اللام

2. Fi'il
Fi'il adalah kata yang menunjukkan suatu makna dan dikaitkan dengan waktu, contoh: كتب - قرأ - يكتب 

Tanda-tanda fi'il:
a. ​قد
b. ​السين
c. ​سوف
d. ​Ta ta'nits as sakinah

3. Huruf
Huruf adalah kata yang tidak dapat dipahami maknanya kecuali bersama kata yang lain, contoh: من - في - ثم

Dan tidak ada tanda-tanda khusus bagi huruf.

Halaqah 02 : Tolok Ukur Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Selasa, 10 Jumadil 'Ula1443 H/14 Desember 2021 M
👤 Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
📗 Kitāb Qawā'du Fīl Buyū' (قواعد في البيوع)
Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
🔊 Halaqah 02 : Tolok Ukur Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya

〰〰〰〰〰〰〰

*TOLOK UKUR AKAD JUAL BELI HAKIKAT BUKAN LAFAZH*


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله وأصل و أصلم على نبينا الكريم و على آله وصحبه أجمعين اما بعد


Ikhwāti A'ādzakumullāh Wa Iyyakum

Pada pertemuan kali ini (in syā Allāh) kita akan masuk kaidah kedua di antara kaidah-kaidah dasar dari akad jual beli. 

Di pertemuan sebelumnya kita telah menyelesaikan kaidah yang pertama yaitu: الأصل في البيوع الإباحة , hukum asal jual beli adalah diperbolehkan atau halal, sampai datang dalīl yang menunjukkan bahwasanya akad tersebut diharamkan di dalam syari'at Islām.

Adapun kaidah kedua diantara kaidah-kaidah jual beli adalah: 

العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني

_▪︎ Kaidah Kedua | Tolok Ukur dalam Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya_

Yang dilihat standar dalam akad jual beli adalah hakikatnya bukan lafazhnya.

Ketika kita ingin menilai sebuah akad jual beli, maka jangan terpaku kepada lafazhnya, jangan terpaku kepada namanya, tapi lihatlah hakikat akad itu, lihatlah makna dari transaksi tersebut.

Misalkan:

Ahmad berkata kepada Muhammad, "Ya Muhammad, saya berikan (hadiahkan) mobil ini kepadamu dengan syarat kamu memberikan saya uang 100 juta."

Kalau kita lihat lafazhnya, maka kita akan dapati bahwasanya akad ini adalah akad hadiah. Karena bahasanya yang dia sampaikan, "Saya hadiahkan kepadamu, saya berikan kepadamu," maka akadnya akad hibah, kalau seandainya kita lihat kepada lafazh.

Namun yang menjadi poin dalam transaksi jual beli bukan lafazh ini akan tetapi maknanya, hakikat yang dikandung oleh lafazh tersebut. 

Apa maksudnya dari lafazh tersebut?

Ketika dikatakan dengan syarat, "Engkau berikan saya 100 Juta," maka kita tahu bahwasanya ini bukan hadiah tetapi jual beli. Karena ada pertukaran antara mobil dengan uang 100 Juta.

Maka kita katakan, ini bukan akad hadiah tetapi akad jual beli, walaupun shurahnya (gambarannya) atau lafazhnya yang kita dengar adalah hadiah. 

Begitu juga dengan apa yang terjadi di bank, (misalkan) ketika bahasa yang tertulis di Bank Syari'ah adalah akad wadi'ah. Di mana akad wadi'ah pada hakikatnya adalah seorang menyimpan uang orang lain atau menyimpang barang orang lain.

Dan konsekuensi akad wadi'ah adalah:

⑴ Orang yang menyimpan barang tersebut tidak boleh memanfaatkannya (tidak boleh menggunakannya). 

⑵ Akad wadi'ah adalah akad amanah (kepercayaan).

Yang mana akad kepercayaan itu konsekuensinya, kalau seandainya harta yang disimpan itu benar-benar dijaga, namun qadarullāh musibah menimpanya sehingga menyebabkan harta tersebut hilang maka tidak wajib menggantinya. 

Misalkan:

Dia menyimpan mobil orang lain, dia jaga mobil itu diletakkan di garasi rumahnya, dia kunci mobil itu. Tiba-tiba terjadi gempa bumi rumahnya hancur sehingga menimpa mobil tersebut dan mobilnya rusak.

Konsekuensi dari akad wadi'ah (akad amanah), orang yang menyimpan harta tersebut tidak wajib menggantinya. 

Karena apa? 

Karena dia sudah menjalankan amanahnya (menjaga mobil tersebut). Sedangkan kerusakan mobil tersebut di luar kemampuan. Ini akad wadi'ah.

Namun apa yang kita dapati di bank? Transaksi akad wadi'ah di bank?

Mereka boleh menggunakan harta yang kita simpanan kepada mereka, mereka boleh memutarnya, mereka boleh menggunakannya untuk mencari keuntungan. Maka ini keluar dari hakikat akad wadi'ah.

Begitu juga dengan konsekuensi dari akad wadi'ah yang ada di bank adalah akad dhamman, yaitu ganti rugi. Kalau seandainya uang yang ada di bank hilang, relakah nasabah untuk kehilangan uangnya? 

Misalkan:

Bank sudah menjaga uang tersebut namun qadarullāh uang tersebut dicuri maka nasabah akan datang kepada bank untuk minta ganti rugi. Karena akad dari awal memang bank bersiap untuk melakukan ganti rugi ketika terjadi kehilangan. Maka dari sini kita lihat hakikat dari akad wadi'ah yang ada di bank adalah akad pinjaman. 

Yaitu bank meminjam uang atau meminjam harta dari nasabah. Karena akad pinjaman (akad dhaman) adalah akad ganti rugi dan boleh digunakan. Uang yang diberikan boleh digunakan oleh Si Peminjam.

Maka jangan tertipu dengan lafazh, namun lihatlah kepada makna yang ada di balik lafazh tersebut.

• Apa Dalīl dari Kaidah ini?

Yaitu sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوى

_"Sesungguhnya amalan itu dinilai dari niat pelakunya, dan dia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan."_

(Hadīts shahīh riwayat Abu Dawud nomor 2201)

Kalau seandainya lafazhnya hadiah namun niatnya adalah jual beli (pertukaran harta) yang menjadi patokan adalah niatnya bukan lafazhnya.

Juga para ulama mengatakan bahwa maksud atau hakikat lebih dikedepankan daripada lafazh yang ada, karena lafazh pada asalnya (sejatinya) adalah wasilah untuk mengungkapkan hakikat atau makna yang ada dalam hati, sehingga kita sebutkan dalam lafazh dan kita ucapkan apa yang ada dalam hati kita.

Pada asalnya ucapan kita mewakili apa yang ada dalam hati kita. Ketika terjadi benturan, terjadi perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang diniatkan dalam hati, maka yang dikedepankan adalah apa yang ada dalam hati kita. Karena itu adalah poinnya.

Sedangkan ucapan hanyalah wasilah. Sehingga ketika berbeda antara wasilah dengan pokoknya maka pokok lebih diutamakan. Itu kaidah kedua: العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني , tolok ukur dalam akad jual beli hakikatnya bukan pada lafazh.

Kemudian kaidah ketiga di antara kaidah-kaidah jual beli adalah:

القصود مؤثرة في العقود

_▪︎ Kaidah Ketiga | Niat Pelaku Transaksi Mempengaruhi Akad Jual Beli_

Niat pelaku transaksi bisa mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah transkasi jual beli. 

Kalau sebelumnya, konsekuensi dari transaksi dikembalikan kepada makna dari akad yang terjadi. Sedangkan dalam permasalahan ini (kaidah ini), niat seorang pelaku bisa mempengaruhi keabsahan sebuah transaksi jual beli.

Contohnya adalah ketika Ahmad dan Muhammad tadi misalkan. 

Ahmad mempunyai mobil lalu dia berkata kepada Muhammad, "Ya Muhammad, belilah mobil saya ini 10 Juta saja (misalkan)," tapi dalam hatinya ada niat bercanda dan Muhammad tahu dia (Ahmad) sedang bercanda.

"Ambil saja mobil ini 10 Juta," lalu Ahmad tertawa (bercanda saja) kemudian Muhammad berkata, "Ya sudah, saya beli 10 Juta."

Maka dalam kejadian seperti ini tidak boleh Muhammad meminta kunci mobil kepada Ahmad lalu membawa mobil itu pergi. 

Karena apa? 

Karena kita tahu dalam konteks itu Ahmad sedang bercanda kepada Muhammad.

Maka para ulama mengatakan, dari kaidah ini kita ketahui bahwasanya transaksi tersebut tidak sah. Karena Ahmad tidak serius menjual mobilnya, dia hanya ingin bercanda kepada Muhammad dan Muhammad pun tahu dia sedang bercanda.

Maka dalam kondisi seperti ini tidak sah akad tersebut.

Begitu juga yang dikenal oleh para ulama yaitu: بيع التلجئة (jual beli taljiah), yaitu ketika seorang ingin berlepas diri dari orang yang zhalim.

Misalkan:

Datang seseorang kepada Ahmad lalu dia berkata, "Mobil ini saya ambil, besok mobil ini harus diberikan kepada saya (misalkan)." 

Ahmad (misalkan) tidak berani melawan orang tersebut. Agar mobil tidak diambil, bagaimana caranya? 

Caranya dia pura-pura menjual mobilnya. 

Maka didatangi Muhammad lalu dia katakan, "Ya Muhammad, ada orang zhalim datang kepadaku ingin mengambil mobilku ini dengan berbagai alasan."

Maka Ahmad menawarkan kepada Muhammad, "Bagaimana kalau saya pura-pura menjual mobil ini kepadamu agar dia (orang zhalim) tidak bisa mengambil mobil ini?"

Maka para ulama mengatakan:بيع التلجئة (jual beli taljiah) ini adalah jual beli untuk melepaskan diri dari kezhaliman orang lain adalah akad yang tidak sah. Akad Ahmad dengan Muhammad tadi tidak sah karena Ahmad tidak benar-benar ingin menjual mobilnya. Hanya menampakkan kepada orang zhalim tadi bahwasanya mobilnya telah dijual kepada Muhammad.

Maka kita katakan di sini akadnya tidak sah karena: القصود مؤثرة في العقود , maksud dia menjual tadi bisa mempengaruhi keabsahan akad jual beli.

Dalīlnya apa? 

Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

_"Tiga perkara yang serius dan candanya dianggap sama (yaitu) menikah, talak dan ruju'."_

(Hadīts hasan riwayat Abu Dawud nomor 2194)  

Tiga hal ini (menikah, talak dan ruju') yang tidak bisa dijadikan candaan. 

Seseorang misalkan bercanda untuk mentalak istrinya, maka ini dianggap serius, tidak dianggap bercanda. Maka ketika dia bercanda menjatuhkan talak kepada istrinya maka jatuhlah talak kepada istrinya tersebut.

Para ulama, dari hadīts ini menyimpulkan bahwasanya selain tiga ini maka candaan tetap dianggap canda. 

Maksudnya apa? 

Ketika seorang bercanda menjual barang, bercanda tidak niat untuk menjual barang itu maka transaksinya batal atau tidak dianggap.

Inilah makna dari kaidah ketiga dalam pertemuan ini, kita lanjutkan in syā Allāh di pertemuan berikutnya.


وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

____________________

Tujuan & Manfaat Pernikahan (Bagian Pertama)

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _JUM’AT_
 | _28 Rabi’ul Akhir 1443H_
 | _03 Desember 2021M_

🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى*
📗 *Fiqih Nikah / Baiti Jannati*

🔈 *Audio ke-010*
📖 *Tujuan & Manfaat Pernikahan (Bagian Pertama)*
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله و صحبه ومن والاه أمام بعد

Kaum muslimin anggota grup Dirosah Islamiyah yang semoga senantiasa dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kembali saya hadir ke tengah ruang Anda, untuk bersama-sama menata kembali rumah tangga kita, agar rumah tangga kita betul-betul menjadi بيتي جنتي (rumahku adalah surgaku).

Sebelum Anda menikah atau kalaupun Anda telah menikah tidak ada salahnya untuk Anda duduk sesaat termenung, bertanya kembali, “untuk apa kita menikah?” 

Jangan-jangan kita itu menikah hanya karena tuntutan trend, hanya karena merasa sudah tua, hanya karena merasa menuruti hawa nafsu saja, atau mungkin karena didesak-desak oleh orang tua agar kita segera menikah dan menghadirkan cucu untuk orang tua kita.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ

Ada tiga golongan manusia yang pasti Allāh akan menolong mereka, satu dari ketiga golongan tersebut adalah, 

النَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ

Orang yang menikah karena dia merasa sadar terancam, bahwa dia dalam bahaya, bisa jadi terjerumus dalam dosa maksiat atau perzinahan, agar dia selamat dari perzinahan, punya benteng yang membentengi dia dari perbuatan nista maka dia menikah. Karena niat dia adalah luhur. Allāh berjanji Allāh pasti tolong mereka.

Seperti apa pertolongan Allāh? mungkin Anda akan bertanya, seperti apa wujud konkretnya Allāh itu akan menolong saya. Allāh gambarkan dalam Al-Quran,

إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ
[QS An-Nur: 32]

Kalau mereka anak-anak muda yang menikah itu di saat mereka menikah,

يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ

Mereka dalam kondisi miskin, dalam kondisi kekurangan.

يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ 

Allāh memberikan kecukupan mereka dari kemurahanNya, Allāh akan mudahkan, Allāh akan bukakan pintu kecukupan untuk mereka.

Dan secara de facto, bukti telah banyak orang-orang yang semula ketika mereka bujang, alih-alih mereka mendapatkan kecukupan, mereka selalu merasa kekurangan, tetapi subhanallah setelah mereka menikah Allāh berikan kemudahan. Allāh lancarkan rezekinya.  

Banyak anak-anak muda yang berkata, "untuk biaya hidup sendiri saja susah, bagaimana harus menafkahi istri". Inilah sebuah slogan dan ini adalah ucapan yang tidak tepat, tidak mencerminkan akan iman.

Apakah Anda menjamin rezeki istri Anda, apakah rezeki Anda itu diambil, direnggut istri Anda, tidak! Istri Anda Allāh ciptakan terlahir ke dunia ini dengan membawa jatah rezeki, Anda pun terlahir ke dunia dengan membawa jatah rezeki. Tidak saling mengambil, tidak saling mengurangi.

Namun ketika Anda menyatukan tekad dengan seorang wanita, menyatukan tekad dengan seorang pria untuk menjalin suatu ikatan suci yaitu pernikahan, sucinya niat Anda yang menikah dalam rangka membentengi diri dari perbuatan maksiat diapresiasi oleh Allāh Subhanahu wa taala dengan sebuah janji,

إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ

Kalau mereka miskin akan Allāh berikan kecukupan kepada mereka.

Karenanya, pada kesempatan ini saya mengajak Anda untuk kembali memetakan, menjawab pertanyaan yang sangat principal (sangat mendasar) dalam kehidupan rumah tangga setiap muslim, “untuk apa kita menikah?”

Para ahli fiqih, para ulama, telah menjelaskan bahwa pernikahan itu memiliki visi (tujuan) yang sangat mulia dan banyak, bukan hanya satu. Yang terbesar adalah menjalankan perintah Allāh, menjalankan syariat Allāh, menjalankan kepatuhan kepada Allāh, karena Allāh menciptakan dunia ini bukan untuk dipandangi, bukan untuk kemudian disia-siakan dunia ini, Allāh percayakan kepada Anda. Allāh ciptakan semua yang ada yang ada di dunia ini, untuk apa?

Untuk Anda makmurkan, untuk Anda nikmati, untuk Anda manfaatkan, agar apa? Agar Anda bisa menjalankan perintah, menegakkan ibadah kepada Allāh, agar Anda memiliki anak keturunan, yang mereka semua nanti akan menegakkan ketaatan kepada Allāh, memakmurkan, mengisi dunia ini, dengan ibadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāh yang memerintahkan Anda untuk menikah,

فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ ۖ

“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian suka, yang kalian senangi dua, tiga, atau empat.”

Atau kalau-kalau tidak mampu,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟

“Kalau kalian khawatir tidak mampu berbuat adil.” 

Maka

فَوَٰحِدَةً

“Maka nikahilah satu orang wanita.” [QS An-Nisa: 3]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, suatu hari tersentak dengan sikap sebagian sahabat yang salah persepsi tentang ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah itu kontra produktif (bertentangan) dengan pernikahan, kenapa?

Pernikahan itu adalah melampiaskan nafsu, berfoya-foya, bersenang-senang, sedangkan ibadah itu konsentrasi, bermunajat kepada Allāh, subhanallah.

Sehingga mereka apa yang mereka lakukan? mereka berikrar untuk tidak menikah, karena mereka menganggap dengan menikah itu menjadikan kita jauh dari ibadah. 

Padahal faktanya tidak demikian, justru dengan menikah kita semakin dekat dengan ibadah. Karena ibadah itu bukan hanya shalat, bukan hanya puasa tetapi menikahpun itu adalah bentuk dari ibadah. 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Dan ketika kalian melampiaskan nafsu birahi dengan menggauli istrimu, maka kamu akan mendapatkan pahala sedekah.”

Para sahabat heran dan bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ

“Ya Rasulullah apakah kita melampiaskan syahwat (nafsu) kita kemudian kita mendapatkan pahala.”

Ini suatu yang menakjubkan, suatu yang aneh. Nabi memberikan satu gambaran

أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا

“Allāh menciptakan kalian sebagai manusia yang normal, lelaki ataupun wanita diciptakan dalam kondisi punya nafsu.”

Coba pikirkan kalau dilampiaskan nafsunya di tempat atau dengan cara yang haram bukankah dia dapat dosa,

فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ  

“Demikian pula kalau dia melampiaskan nafsu itu dengan cara yang halal, kenapa dapat pahala.” [HR Muslim No. 1006]

Iya, melampiaskan nafsu dengan cara yang halal itu adalah bentuk dari pengakuan bahwa Anda manusia.

Anda punya hajat, punya kebutuhan dengan Anda melampiaskan nafsu, itu Anda mengaku bahwa Anda hamba dan bukan Tuhan. Anda butuh, Anda punya hasrat, sehebat apapun Anda, sekuat apapun, Anda butuh pada kehadiran partner, yaitu seorang wanita yang lemah yang akan menyempurnakan hidup Anda, yang akan menjadikan hidup Anda berarti, yang menjadikan hidup Anda bermakna.

Secerdas apapun, sekuat apapun, sepandai apapun, sekaya apapun Anda, hidup Anda akan menjadi hampa tidak ada artinya. Hidup Anda akan menjadi gersang tidak ada rasanya, ketika Anda tidak menikah. Harta Anda sia-sia, kecerdasan Anda sia-sia, kekuatan Anda tidak ada artinya, tetapi dengan Anda menikah Anda merasakan dunia ini terasa indah.

Kekayaan Anda memiliki arti, ketampanan akan ada artinya, keperkasaan Anda ada rasanya, dengan menikah. Sehingga itu akan semakin menghantarkan Anda bahwa ternyata Anda makhluk yang lemah, walaupun Anda punya, Anda tidak akan bisa merasakan. Anda memiliki, tapi Anda tidak bisa menikmatinya kecuali dengan hadirnya partner yaitu istri.

Anda tidak akan bisa merasakan betapa bahagianya seorang suami yang memberikan nafkah istrinya, memberikan kecukupan kepada istrinya, sampai Anda menikah.

Dan ketahuilah salah satu surat yang istimewa, bahkan dikatakan oleh Nabi sebagai sepertiga Al-Quran adalah ayat atau surat yang menggambarkan, menceritakan akan fakta ini,

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ

“Katakan Muhammad bahwa Allāh itu Maha Esa.”

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ
 
“Allāh tidak pernah beranak dan Allāh tidak pernah diperanakkan.”

Anda menikah agar Anda bisa menyadari fakta ini, siapapun Anda, Anda adalah anak manusia lain, anak wanita lain, anak lelaki lain. Dan siapapun Anda, Anda memiliki anak dan butuh kepada kehadiran anak. 

Dulu Anda butuh kepada orang tua Anda, tanpa mereka Anda binasa, tidak mungkin hadir di dunia ini, sehingga jangan pernah mengaku sebagai Tuhan, karena pada suatu saat Anda tidak pernah ada di dunia ini.  

Anda pada suatu periode,

لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا

Tidak pernah tersebut tidak pernah ada dan setelah Anda, jangan sombong, jangan lupa bahwa Anda kemarin tidak ada, hadir karena hubungan lelaki dan wanita. 

Dan kemudian setelah Anda dewasa menginjak umur secara alami, secara natural, jiwa Anda bersuara, jiwa Anda menjerit untuk apa? 

Butuh kepada kehadiran seorang anak untuk menjadikan Anda merasa sebagai manusia yang sempurna, lelaki yang sempurna, wanita yang sempurna. Apalah artinya laki-laki ketika dia tidak bisa melahirkan seorang anak, apalah arti seorang wanita ketika dia tidak bisa hamil dan menghadirkan seorang anak. Semua orang menyadari ini, sehingga dengan lahirnya anak, dengan proses pernikahan, Anda betul-betul akhirnya sampai pada satu titik, bahwa Anda bukan Tuhan.

Tetapi Anda adalah hamba Allāh, sehingga ketika Anda mengingat orang tua Anda, Anda akan teringat saya terlahir dari lelaki dan wanita, berarti saya bukan Tuhan. Dan saatnya nanti Anda melahirkan seorang anak berarti Anda bukan Tuhan, karena Tuhan itu

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Sebagaimana Anda dalam rumah tangga, bisa jadi Anda bukan satu-satunya anak, tetapi Anda punya saudara. Di kampung itu Anda juga bukan satu-satunya anak, banyak teman sejawat Anda seumuran dengan Anda, sebaya dengan Anda yang membuktikan bahwa Anda bukan Tuhan, karena apapun yang bisa Anda lakukan, bisa dilakukan oleh teman-teman Anda

Sehingga pernikahan ini manfaat terbesarnya adalah membuktikan, mengantarkan Anda untuk mengakui bahwa Anda hamba bukanlah Tuhan. 

Fir'aun lakanatullah alaih lupa akan hal ini, keberhasilan, kekayaan, kekuasaan dia, menjadikan dia lupa daratan, sehingga dia mengatakan,

أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى

“Aku adalah Tuhan kalian yang paling perkasa, paling berkuasa.” [QS An Nazi’at: 24]

Tetapi, Subhanallah dia tidak bisa mendustakan, Allāh buktikan kepada Fir’aun, 

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

“Bahwa Tuhan itu tidak pernah diperanakkan dan juga tidak pernah beranak.”

Fir'aun lupa sejarah boleh, bisa jadi lupa sejarah bahwa dia adalah anak, dia terlahir melalui proses kelahiran, tetapi seperkasa apapun, se-digjaya apapun seorang dia tidak bisa melawan hati nurani, bahwa dia rindu untuk bisa menimang seorang anak.

Dia seorang manusia biasa. Seperti apapun sombongnya, hati nuraninya akan berkata, kehadiran seorang anak yang dia cium, yang dia timang, yang dia goda, itu adalah salah satu kunci kebahagiaan hidup di dunia. 

Maka Allāh jadikan Fir'aun mandul (tidak punya anak keturunan) sehingga akhirnya dia tergoda untuk mengangkat anak, maka diambil Nabi Musa Alaihissalam yang oleh orang tuanya telah diletakkan dalam sebuah peti dan kemudian dihanjutkan ke sungai Nil.

Kemudian diambil oleh Fir'aun secara sembunyi-sembunyi, dia mengira tidak ada yang mengetahui, dia rawat, dia ingin melampiaskan sebagian dari nalurinya sebagai manusia biasa, menimang anak. Subhanallah 

Sehingga kehadiran pernikahan itu salah satu manfaatnya adalah untuk membuktikan bahwa Anda manusia, bukan Tuhan, karena Tuhan itu,

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
 
Karena itu ketika Anda ingat orang tua Anda, ingatlah bahwa Allāh.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Ketika Anda ingat kepada anak Anda, katakan bahwa Allāh itu tidak Pernah lahir dan tidak melahirkan. 

Ketika Anda rindu kepada istri Anda, naluri sebagai seorang laki-laki atau naluri sebagai seorang wanita ingin disayangi, ingin dilindungi, ada rindu kepada pasangan Anda, maka itu adalah satu petir yang menyambar nalar Anda agar Anda sadar bahwa Anda bukanlah Tuhan.

Yang namanya Tuhan itu,

 وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
 
Allāh tidak punya partner, Allāh tidak punya pesaing, Allāh tidak punya pasangan, Subhanallah. Tidak ada yang bisa menyaingi Allāh Subhanahu wa taala

 والله تعالى أعلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•