Senin, 29 November 2021

Pengendalian Emosional Rumah Tangga Rasulullah Ketika dalam Kondisi Sedih Ditimpa Musibah

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _KAMIS_
 | _20 Rabi’ul Akhir 1443H_
 | _25 November 2021M_

🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى*
📗 *Fiqih Nikah / Baiti Jannati*

🔈 *Audio ke-004*
📖 *Pengendalian Emosional Rumah Tangga Rasulullah Ketika dalam Kondisi Sedih Ditimpa Musibah*
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله و على آله و صحبه و من والاه أمام بعد

Pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda untuk sedikit menyelami bagaimanakah Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam, memanage (mengendalikan) emosional beliau baik ketika senang ataupun ketika sedih, marah, kecewa ataupun sedang bahagia. 

Karena dengan pengendalian diri inilah keberhasilan dalam mengarungi rumah tangga itu akan terwujud. Ketika mendapatkan kesusahan, musibah mendapatkan hal-hal yang menyakitkan maka kadangkala kita berputus asa.

Kadangkala kita bersedih seakan-akan semua urusan kita telah berakhir, telah tertutup pintu kasih sayang karunia Allāh, akhirnya kita berputus asa, hanyut dalam kesedihan, karenanya seorang suami yang telah Allāh pilih sebagai qowwam, Allāh katakan,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
 [QS An Nisa: 34]

Seorang suami lelaki adalah seorang pemimpin yang bertugas untuk meluruskan. Memimpin kaum wanita yaitu istri-istrinya, karena mereka kaum lelaki memiliki kelebihan dalam urusan harta, mereka menafkahi, mereka memberi mas kawin, dan juga mereka memiliki kelebihan, kekuatan fisik, kekuatan mental, keberanian dan keuletan, mereka memberi nafkah, dan kemudian kaum lelaki juga memiliki kelebihan dalam hal-hal yang lain.

Ketika dalam kondisi musibah kesusahan, lagi-lagi Nabi memberikan keteladanan yang luar biasa kepada keluarganya. Ketika salah seorang putri Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengirimkan seorang utusan menyampaikan bahwa salah satu putranya meregang nyawa (meninggal dunia) yaitu cucu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam.

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam berkata kepada utusan putrinya tersebut, mengatakan,

فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ 
[HR Bukhari 6829, Muslim 1531]

Perintahkan kepada dia, agar dia sabar agar dia tabah dan (تَحْتَسِبْ) memohon pahala kepada Allāh 'Azza wa Jalla.

Beliau tanamkan, musibah bukan untuk diratapi, disesali, karena musibah itu datangnya dari Allāh Azza wa Jalla, semua itu telah berjalan sesuai dengan takdir, untuk apa kita hanyut dalam kesedihan sampai misalnya memukul-mukul badan sendiri, merobek baju, menjerit histeris, atau menganggap bahwa dunia telah kiamat, gelap mata.

Tidak sepatutnya seorang muslim melakukan hal-hal tersebut, karena matinya anak, matinya orang tua, matinya saudara bukan berarti matinya kita.

Tertutupnya pintu rezeki seseorang bukan berarti pintu rezeki kita juga ikut tertutup, berakhirnya hayat seseorang bukan berarti akhir dari kehidupan kita pula. Masing-masing akan menjalani takdirnya, suratan takdirnya.

Sehingga kita harus tetap berada dalam kendali iman, karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mengancam wanita-wanita yang lepas kendali ketika mendapatkan musibah, bahwa:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ
[HR Muslim 149]

Bahwa aku berlepas diri dari wanita-wanita yang menggundul kepalanya ketika ditimpa musibah, atau الصَّالِقَةِ atau berteriak-teriak menjerit histeris. 

Kenapa? karena itu tidak mencerminkan iman kepada Allāh 'Azza wa Jalla. Nabi mencontohkan ini kepada keluarganya, mencontohkannya kepada putrinya 

Dalam lain kesempatan ketika putranya yaitu Ibrahim Alaihissalam, putra Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggal dunia. Putra beliau dari budak yang beliau miliki yaitu Mariah al-Qibthiyah, yang diberi nama Ibrahim meninggal dunia. Di saat sakaratul maut menjemput putranya, Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam meneteskan air mata sebagai tanda beliau bersedih

Maka sebagian sahabat bertanya perihal tangisan Nabi tersebut, apalagi sebelumnya mereka telah mendengar bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam mencegah atau melarang mencela wanita-wanita wanita yang صالقة, wanita-wanita yang menggundul rambutnya atau حالقة, صالقة yang berteriak-teriak histeris. 

Dalam riwayat lain nabi juga mencela wanita-wanita (naihah) yang meratapi kematian seseorang. Namun ketika putra beliau meninggal nabi menangis, kemudian beliau berkata,

ﻳَﺎ ﺇﺑﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻟَﻤَﺤﺰُﻭﻧُﻮﻥَ

Wahai Ibrahim, sungguh perpisahan kita ini sangatlah menyedihkan kita sangatlah bersedih, berduka ketika harus berpisah dengan dirimu. 

Namun ketika ditanya kenapa harus menangis? Nabi menjawab sikap yang benar yang dilakukan seorang muslim ketika mengalami kesedihan kesusahan

إِنَّهَا رَحْمَةٌ
[HR Bukhari 1220]

Wahai tangisan ini adalah implementasi dari kasih sayang seorang ayah. 

Dalam riwayat lain beliau mengatakan,

إن العين لتدمع

Sungguh kedua mata itu bisa saja menangis.

وإن القلب ليحزن
 
Dan sungguh hati itu tersayat-sayat pilu karena sedih.

ﻭَﻻَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﻳُﺮْﺿِﻲ ﺭَﺑَّﻨَﺎ
 
Namun demikian apapun yang terjadi walaupun mata menangis meneteskan air mata, hati bersedih tidak menjadikan lisan kita sembrono (gegabah) dalam bertutur kata menjerit histeris, tidak.

Tetap saja apapun kondisinya,

لاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا،

Kita tidak bertutur kata kecuali yang diridhai Allāh Subhanahu wa ta'ala, yaitu mengatakan istirja’

اِنّا لِلّهِ وَاِنّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ

Demikianlah sikap seorang muslim. Dinamika rumah tangga yang ada kenikmatan, ada kemudahan, ada kelapangan, ada suka namun juga ada duka, disikapi dengan kendali iman, sehingga apapun yang terjadi rumah tangga akan tetap berada di bawah bimbingan dan naungan agama Allāh 'Azza wa Jalla.

Ini yang kami bisa sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya mohon maaf 

وبالله التوفيق و الهداية 
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 12: Al Qadzaf

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Kamis, 20 Rabi'ul Akhir1443 H/25 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 12: 

〰〰〰〰〰〰〰

*Al Qadzaf (القذف)*
 

بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله أما بعد

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla. 

Kali ini kita akan mulai memasuki: القذف , yaitu menuduh seseorang melakukan perbuatan zina. 

*• Definisi Al Qadzaf (القذف)*

Dalam bahasa Arab qadzaf (قذف) memiliki makna melemparkan sesuatu dengan kuat. Namun (kemudian) istilah qadzaf (قذف) ini digunakan untuk menunjukkan perbuatan seseorang yang melemparkan tuduhan zina kepada orang lain.

*• Ancaman Bagi Orang yang Melakukan Qadzaf (تعريف القذف)*

Dalam surat An Nūr, Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman: 

وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَـٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَـٰنِينَ جَلْدَةًۭ وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَـٰدَةً أَبَدًۭا ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَـٰسِقُونَ

_"Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."_ 

(QS. An Nūr: 4)


إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

_"Kecuali mereka yang bertaubat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allāh Maha Pengampun, Maha Penyayang."_

(QS. An Nūr: 5)

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۭ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ

_"Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allāh, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar."_ 

(QS. An Nūr: 6)

وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ

_"Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allāh akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta."_

(QS. An Nūr: 7)

وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتِۭ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ

_"Dan istri itu terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas (nama) Allāh bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta."_ 

(QS. An Nūr: 8)

وَٱلۡخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ

_"Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allāh akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar."_

(QS. An Nūr: 9)

Kemudian pada ayat yang lain Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡغَٰفِلَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ لُعِنُواْ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ

_"Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan yang beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka mendapat azab yang besar."_

(QS. An Nūr: 23)

إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ

_"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula)."_

(QS. An Nūr: 11)

Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhāri, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ

_"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan."_

Kemudian para shahabat bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ 

_"Wahai Rasūlullāh, apakah tujuh perkara tersebut?"_

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab: 

الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ 

_"Berbuat syirik kepada Allāh, berbuat sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allāh kecuali yang hak, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan, menuduh wanita mukminah yang suci berbuat zina."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6857)

Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Saat berada di Mina Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bertanya kepada para shahabatnya.

أَتَدْرُونَ أَىُّ يَوْمٍ هَذَا ‏

_"Apakah kalian tahu, hari apakah ini?"_

Para shahabat menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ‏

_"Allāh dan Rasūl-Nya yang lebih mengetahui."_

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ هَذَا يَوْمٌ حَرَامٌ ‏

_"Sesungguhnya hari ini adalah hari yang haram (suci)."_

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bertanya: 

أَتَدْرُونَ أَىُّ بَلَدٍ هَذَا

_"Tahukah kalian negeri apa ini?"_

Para shahabat kembali menjawab: 

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ‏

_"Allāh dan Rasūl-Nya yang lebih mengetahui."_

Beliau bersabda:

 بَلَدٌ حَرَامٌ

_"Negeri ini negeri Haram."_

Beliau kembali bertanya: 

أَتَدْرُونَ أَىُّ شَهْرٍ هَذَا ‏

_"Tahukah kalian bulan apa ini?"_

Para shahabat kembali menjawab: 

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ‏

_"Allāh dan Rasūl-Nya yang lebih mengetahui."_

Kemudian Beliau bersabda: 

شَهْرٌ حَرَامٌ

_"Ini adalah bulan Haram."_

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا 

_"Sungguh Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah mengharamkan darah kalian harta-harta kalian dan kehormatan kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini pada bulan ini dan di negeri kalian ini."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6043)

Saat mensyarah hadīts di atas Ibnu Hajar rahimahullāh mengatakan: 

"Bahwa kehormatan yang dimaksud dalam hadīts tersebut adalah umum, baik yang mencakup kehormatan dirinya, nasabnya, ataupun keturunannya."

Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

كلُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ حَرَامٌ, دَمُهُ, وَمَالُهُ, وَعِرْضُهُ 

_"Setiap muslim yang satu dengan yang lainnya haram darahnya, haram hartanya dan kehormatannya."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1539)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda: 

مَنْ قَذَفَ مَمْلُوكَهُ وَهْوَ بَرِيءٌ مِمَّا قَالَ، جُلِدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ كَمَا قَالَ ‏

_"Barangsiapa yang menuduh budaknya melakukan zina padahal ia tidak seperti yang diucapkan maka si penuduh akan dicampuk pada hari kiamat kecuali jika ia jujur dari apa yang diucapkannya."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6858)

و صلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه وسلم 
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

____________________

Kamis, 25 November 2021

Pengendalian Emosional Rumah Tangga Rasulullah Ketika dalam Kondisi Bahagia

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _RABU_
 | _19 Rabi’ul Akhir 1443H_
 | _24 November 2021M_

🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى*
📗 *Fiqih Nikah / Baiti Jannati*

🔈 *Audio ke-003*
📖 *Pengendalian Emosional Rumah Tangga Rasulullah Ketika dalam Kondisi Bahagia*
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~ 


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد لله، والصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه أمام بعد

Kembali saya hadir untuk berbincang-bincang dengan Anda merencanakan, menggubah dan juga menyusun bagaimanakah seharusnya rumah tangga kita ini kita bangun, bagaimanakah sepatutnya keteladanan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dapat diwujudkan dalam rumah tangga kita.

Sebagai seorang muslim kita semua percaya beriman, bahwa panutan kita hanya ada satu yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bukan hanya dalam hal ibadah, tetapi dalam semua urusan muamalah perniagaan, ataupun hal-hal yang bersifat personal rumah tangga, ataupun dunia urusan kita.

Dalam kehidupan rumah tangga semua orang menyadari dan merasakan pasang surut kehidupan, ada suka ada duka, ada kesepahaman dengan pasangan, ada percekcokan, perselisihan, dan perbedaan. 

Ketika dalam kondisi senang harmonis seiya sekata, maka rumah tangga itu begitu indah. Andai itu terus abadi, andai suasana itu selalu menjadi kenyataan tetapi fakta tidaklah demikian. Pasang surut kehidupan terus terjadi ada suka ada duka, ada kesepahaman, ada perseteruan atau perbedaan. 

Karenanya meneladani Nabi ketika Anda suka senang sedang harmonis perlu dilakukan dan wajib dilakukan agar Anda tidak evoria, agar Anda tidak hanyut dalam suka sehingga Anda lepas kontrol dan lepas kendali akhirnya Anda terjerembab dalam menuruti nafsu, mengekploitasi hawa nafsu yang akan mencelakakan Anda. 

Sebagaimana ketika Anda sedang dalam duka dalam kesusahan, perbedaan, marah, sepatutnya Anda juga meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar amarah Anda dapat terkendali, Anda tidak hanyut dalam nafsu setan karena memang marah itu adalah bisikan setan.

Sampai-sampai nabi menggambarkan bahwa marah itu,

إنَّ الْغَضَبُ مِنَ الشَّيْطَانِ،

Betul-betul sumbernya dari setan. Kemudian Nabi memberikan indikasinya kenapa marah itu datangnya dari setan? Lihatlah mukanya memerah, ototnya menegang, itu adalah bukti bahwa marah itu dari setan. Setanlah yang menjadikan manusia hanyut dalam amarah. 

Namun ketika Anda mampu meneladani Nabi di saat Anda menghadapi suasana masalah yang menyebabkan Anda terpancing untuk marah maka rumah tangga Anda akan selamat.

Pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda untuk sedikit menyelami bagaimanakah Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam memanage mengendalikan emosional beliau, baik ketika senang, ataupun ketika sedih, marah, kecewa, ataupun sedang bahagia. Karena dengan pengendalian diri inilah keberhasilan dalam mengarungi rumah tangga itu akan terwujud.

Allāh 'Azza wa Jalla berfirman,

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ فَخُورٍ

“Agar kalian tidak berputus asa ketika mengalami kegagalan dan juga tidak evoria hanyut lupa daratan ketika mendapatkan keberhasilan, karena Allāh tidak senang Allah tidak mencintai orang yang مختال membusungkan dadanya فخور menyombongkan dirinya.” [QS Al-Hadid: 23]

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam suatu hari didapatkan oleh Aisyah, shalat yang begitu lama. Dan itu bukan sekali atau dua kali ini adalah suatu hal yang sering dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi sallam. Sampai-sampai kedua kaki beliau bengkak-bengkak saking lamanya beliau berdiri ketika shalat. 

Maka Aisyah radhiyallahu ta’ala anha mempertanyakan sikap Nabi ini mengapa beliau beribadah begitu gigih, beribadah begitu lama, padahal kalau dipikir-pikir dosa beliau telah dijamin akan diampuni. Surga, beliau telah mendapatkan jaminan kepastian bahwa beliau akan mendapatkannya, bahkan mendapatkan surga yang paling tinggi.

Namun untuk apakah beliau beribadah? dalam kondisi inilah, dalam kondisi ketika kita menyadari mendapatkan nikmat keberhasilan, kemudahan, kemuliaan, kedudukan, seorang suami sepatutnya mencontohkan kepada istri menanamkan kepada keluarganya sikap yang benar.

Nabi menanamkan hal ini, mengajarkan hal ini kepada istri beliau Aisyah dengan sabdanya dalam kondisi tersebut beliau bersabda,

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا. 

Wahai Aisyah, betul apa yang kau katakan, bahwa Allah telah menjamin akan dimasukkan surga, diampuni dosa-dosaku yang telah lalu dan yang akan datang. 

Namun demikian itu semua nikmat, tidaklah pantas tidakkah layak kalau aku menyadari hal itu kemudian aku pandai-pandai bersyukur melipatgandakan syukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla seiring dengan besarnya nikmat maka semakin besar pula implementasi syukur yang harus kita lakukan 

Inilah sebuah keteladanan, kadangkala suami ketika mendapatkan keberhasilan sukses ke kelapangan dalam rezeki, kedudukan yang tinggi, dan lain sebagainya, lupa untuk menanamkan syukur kepada istrinya, yang dia lakukan yang dia ingat adalah bagaimana memanjakan istrinya. Bagaimana menonjolkan keberhasilannya di depan istri.

Lupa untuk menanamkan bahwa nikmat itu bukan untuk ditonjol-tonjolkan, dibangga-banggakan atau sekedar dinikmati, tapi nikmat itu harus disyukuri.

Inilah sebuah keteladanan seorang suami menanamkan kepada istrinya, pentingnya syukur, seiring dengan nikmat yang kita rasakan, seiring dengan bertambahnya karunia yang kita dapatkan, suami terus menanamkan kesyukuran, rasa syukur kepada Allāh 'Azza wa Jalla

Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, kurang dan lebihnya mohon maaf 

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 11: Dampak dari Persaksian Palsu

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Rabu, 19 Rabi'ul Akhir1443 H/24 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 11: Dampak dari Persaksian Palsu

〰〰〰〰〰〰〰

*DAMPAK DARI PERSAKSIAN PALSU*
 

بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله 

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla. 

Masih melanjutkan pembahasan seputar: شهادة الزور atau persaksian palsu.

Kali ini akan membahas seputar:

 ما يترتب على شهادة الزور من الجرائم

_▪︎ Dampak yang Muncul Akibat Persaksian Palsu_

Berbagai Dampak yang akan Muncul akibat persaksian Palsu.

Di antaranya ialah: 

⑴ Membuat pihak yang berwenang salah dalam mengambil keputusan dalam suatu perkara. Sehingga ia justru memberikan keputusan yang tidak tepat. Sebab terdapat beberapa faktor yang menentukan dalam sebuah perkara, di antaranya ialah penuturan para saksi. 

Sehingga jika orang yang bersaksi ternyata berdusta, tentunya seorang hakim akan menjatuhkan vonis yang tidak tepat meskipun dosanya akan ditanggung oleh orang yang dusta dalam persaksiannya tersebut.

Dalam hal ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda: 

إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ

_"Sungguh kalian sering kali mengadukan sengketa kepadaku, barangkali diantara kalian ada yang lebih pandai bersilat lidah daripada yang lain._

فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا ‏

_Maka barangsiapa yang diputuskan menang dengan menciderai hak saudaranya karena kepandaian dalam berargumentasi maka sejatinya telah diberikan sepotong api neraka baginya, maka janganlah ia mau untuk mengambilnya."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 2680)

⑵ Dapat menzhalimi orang lain. Sebab, saat seseorang melakukan persaksian palsu, maka secara otomatis dia berperan dalam mengambil hak orang lain.

⑶ Zhalim terhadap orang yang dia bela. s
Sebab secara tidak langsung ia telah membantu orang tersebut untuk mengambil hak orang lain. 

Ditambah lagi orang tersebut juga terancam dengan doa orang yang telah diambil haknya. Padahal doa orang yang terzhalimi termasuk dalam doa yang mustajab, sebagaimana dijelaskan dalam hadīts-hadīts yang shahīh. 

Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:

مَنْ اِقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ, فَقَدْ أَوْجَبَ اَللَّهُ لَهُ اَلنَّارَ, وَحَرَّمَ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ

_"Barangsiapa yang mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allāh mewajibkan neraka untuknya dan mengharamkan surga atasnya."_

فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ:

_Kemudian salah seorang shahabat bertanya:_

وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اَللَّهِ؟ 

_"Wahai Rasūlullāh, meskipun barang tersebut merupakan barang yang sepele?"_

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab: 

وَإِنْ قَضِيبٌ مِنْ أَرَاكٍ

_"Meskipun itu hanya sebatang kayu siwak."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 137)

⑷ Akan membebaskan orang yang bersalah dari hukuman yang seharusnya ia dapatkan. Hal ini juga akan memicu masyarakat berani untuk melakukan kejahatan karena merasa bisa bebas dengan persaksian palsu.

⑸ Persaksian palsu dapat mengakibatkan hilangnya harta hingga nyawa seseorang.

⑹ Seorang pelaku kejahatan akan dianggap baik, sedangkan korban persaksian palsu akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Hal ini tentunya merupakan sebuah kezhaliman kepada pihak korban sekaligus memberikan keuntungan kepada pelaku kejahatan. 

⑺ Seseorang yang melakukan persaksian palsu maka ia berpotensi masuk dalam golongan orang yang berkata-kata tentang agama tanpa ilmu. Di mana hal ini merupakan musibah yang amat besar dan perkara yang amat buruk. 

Sebab di zaman ini cukup banyak orang yang rela melakukan persaksian palsu untuk menghalalkan perkara yang haram atau mengharamkan perkara yang halal atau hal-hal semisal ini.

Hal ini mereka lakukan hanya demi mendapatkan keuntungan untuk diri mereka pribadi.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman: 

وَلَا تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا حَرَامٞ لِّتَفۡتَرُواْ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ

_"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, 'Ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allāh. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allāh tidak akan beruntung."_

(QS. An Nahl: 116)

نسأل الله العافية في الدنيا و الآخرة 

Mungkin ini saja yang bisa pelajari pada kesempatan kali ini.

صلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه وسلم 
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

____________________

Rabu, 24 November 2021

Muqoddimah (Bagian Kedua)

 🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 SELASA
 | 18 Rabi’ul Akhir 1443H
 | 23 November 2021M

🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati

🔈 Audio ke-02
📖 Muqoddimah (Bagian Kedua)
~•~•~•~•~


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، أَمَّا بَعْد

Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengelola dan membina rumah tangga tentu itu adalah satu-satunya cara yang paling efektif agar keluarga kita betul-betul menjadi baiti jannati karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam  adalah manusia paling sempurna.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
[Al-Ahzāb: 21]

Sehingga beliau adalah teladan paling istimewa untuk kita ikuti, untuk kita jadikan panutan adalah nabi. Kenapa? karena beliau telah mendapatkan satu apresiasi dari Allah Azza wa jalla bukan dari manusia

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sungguh engkau (Muhammad) betul-betul memiliki, berada dalam akhlak yang sangat agung. [QS Al-Qalam: 4]

Sehingga kesempurnaan akhlak beliau bisa menjadikan beliau seorang figur yang sempurna dalam segala urusan. Pemimpin, pemimpin umat, Rasul, beliau juga sebagai seorang suami, beliau juga sebagai manusia biasa yang bisa marah dan lain sebagainya

Namun dalam segala kondisi beliau senantiasa berada dalam puncak akhlak yang mulia, selalu sukses memposisikan diri dan berinteraksi dengan cara-cara yang terbaik.

Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam sebagai seorang pemimpin, seorang Rasul dan telah lanjut usia, kisaran atau kira-kira berumur lebih dari 50 tahun atau kisaran berumur 55 tahun atau kurang atau lebih sedikit.

Walaupun demikian, beliau memahami bagaimana pola pikir dan bagaimana perilaku seorang istri yang masih muda belia semisal Aisyah radhiyallahu ta’ala anha, dan bagaimana seharusnya seorang suami memperhatikan perasaan istri.

Ketika Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pulang dari suatu perjalanan peperangan. Di tengah jalan beliau perintahkan para sahabat.

أن تَقَدَّمُوا

“Hendaknya kalian maju duluan.”

Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersama Aisyah berduaan menanti para sahabat berada di tempat yang jauh, maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam  menunjukkan sebagai seorang suami yang senantiasa harmonis dalam segala waktu dan dalam segala kondisi.

Beliau berkata kepada Aisyah,

لتسابقني

”Wahai Aisyah engkau harus mau berlomba lari dengan aku.“

Aisyah berkata, "Ya Rasulullah aku sudah gemuk seperti ini".

Maka Nabi mengatakan

لتفعلنّ

”Sungguh engkau harus melakukannya.“

Kita harus lomba lari, maka nabi pun berlomba lari dengan Aisyah, dan ternyata nabi menang, beliau lebih dahulu lebih cepat larinya dibanding Aisyah, kemudian setelah berhasil membuktikan kemenangannya. Beliau mengatakan,

هَذِهِ بِتِلْكَ

“Wahai Aisyah kemenanganku ini adalah tebusan dari kekalahanku dulu ketika kita awal nikah.”

Subhanallah, Nabi tidak pernah berkata, pernikahan kita sudah berumur puluhan tahun, Nabi tidak pernah berkata umurku sudah lanjut, datar-datar saja. Hubungan keharmonisan dalam rumah tangga dibutuhkan siapapun termasuk oleh orang yang sudah lanjut usia kita butuh kepada keharmonisan.

Subhanallah, Nabi tidak pernah melupakan apa yang pernah beliau lalui dari masa-masa yang indah dengan istri-istrinya. Beliau senantiasa kenang seperti dalam kasus ini, “kekalahanku dulu, aku tebus hari ini”.

Subhanallah, Siapa dari kita yang telah berumur pernikahannya lebih dari 10 tahun, pernikahannya telah berumur 20 tahun, namun masih seharmonis Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Siapa dari kita yang umurnya telah menginjak lebih atau kepala 5 namun masih bersendau gurau dengan istrinya lomba lari dengan istrinya.

Nabi tidak merasa sungkan, risih dengan sekian banyak pasukan yang mengetahui. Subhanallah... Itulah keteladanan.

Andai itu ada dalam rumah tangga kita, andai kita bisa melakukan itu dalam rumah tangga kita. Niscaya betul-betul baiti jannati (rumah tanggaku adalah surgaku).

Subhanallah. Di antara secuil (sedikit) dari kisah keteladanan Nabi. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam  suatu malam pergi ke kuburan Baqi' karena mendapatkan perintah dari Allah Azza wa Jalla agar beliau mendoakan para penghuni kuburan Baqi'.

Aisyah sebagai seorang istri yang masih muda belia cemburu, ia menduga bahwa nabi pergi ke rumah istri yang lain maka Aisyah membuntuti kepergian Nabi. Namun ternyata Nabi tidak pergi ke istri yang lain namun Nabi pergi ke kuburan Baqi mendoakan, memohonkan ampunan untuk para penghuni kuburan Baqi'.

Maka segera Aisyah berpaling dan kemudian bergegas pulang ke rumah. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dari kejauhan melihat ada sekelebat hitam yang bergegas lari maka Nabi segera membuntutinya. Setelah Aisyah berhasil masuk ke rumah dan pura-pura tidur. Namun nafas beliau tidak bisa berdusta, terengah-engah.

Maka Nabi berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah engkaukah hitam-hitam yang aku lihat dari kejauhan, sekelebat hitam yang aku lihat dari kejauhan?“

”Betul ya Rasulullah.“

Rasulullah memahami, memotivasi yang menjadikan Aisyah membuntuti langkah Nabi, dia merasa cemburu.

أغرتِ يا عائشة ؟

"Wahai Aisyah apakah engkau cemburu, khawatir kalau aku pergi ke istriku yang lain?"

Maka Aisyah segera berkata,

كيف لا يغارو مثل على مثلك يا رسول الله ؟

“Ya Rasulullah, bagaimana mungkin istri seperti aku ini tidak cemburu, tidak khawatir engkau itu pergi ke istri yang lain.”

Siapa yang tidak cemburu, memiliki suami yang serba sempurna akhlaknya, ketampanannya, keimanannya.

Subhanallah... maka Nabi kemudian menjelaskan bahwa sejatinya tadi bahwa  Malaikat Jibril memanggilku dari luar rumah. Dia tidak mungkin masuk ke rumah karena aku telah berada dalam satu selimut denganmu. Maka dia memanggil dari luar rumah dan memerintahkan aku agar aku memohonkan ampunan teruntuk penghuni kuburan Baqi, maka aku pun pergi.

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan penjelasan (wejangan) kepada istrinya yang tidak sepatutnya mudah dibakar oleh rasa cemburu,

أو قد جائت الشيطان يا عئشة؟
 
=”Wahai Aisyah Apakah engkau telah kedatangan kembali setanmu, apakah engkau telah kedatangan kembali oleh setan، setanmu telah datang kembali, sehingga engkau itu hanyut terbakar oleh rasa cemburu.

Kemudian Aisyah berkata,

يا رسول الله أو معي الشيطان؟

“Apakah aku ini diikuti terus oleh setan?”

Nabi mengatakan, “Bala (بلا), betul, setiap manusia itu ada qorin, ada pendampingnya yang terus mengikutinya yaitu dari setan, yang satu qarin dari kalangan para malaikat.

Aisyah kembali bertanya, "Wahai Rasulullah  bagaimana dengan dirimu, apakah engkau juga diikuti oleh qarin dari setan?"

Nabi mengatakan, “Ya, aku pun senantiasa dikintil (diikuti) oleh setan, namun bedanya Allah telah membantu aku sehingga setan yang senantiasa membuntuti aku itu telah masuk islam sehingga.”

فَلا يَأْمُرنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

Sehingga dia tidak pernah membisikkan aku kecuali dengan kebaikan.

Subhanallah .... cermatilah Nabi ketika mengetahui istrinya mulai terbakar oleh rasa cemburu, hanyut dalam badai cemburu, Nabi tidak murka, Nabi tidak marah. Nabi berusaha menyelamatkan istrinya dari badai cemburu tersebut dengan menjelaskan bahwa cemburu buta itu datangnya dari setan.

Pikiran-pikiran negatif yang terbetik pada pikiran seorang istri atau suami yang senantiasa berpikir negatif atau kadangkala berfikir negatif su’udhon, curiga kepada suami ataupun istri itu sejatinya adalah bisikan setan.

Sehingga sepatutnya kita waspada, kita senantiasa ingat bahwa pikiran negatif yang tendensinya adalah cemburu itu adalah bisikan setan yang seharusnya dilawan.

Pertama, kita memohon perlindungan kepada Allāh, agar tidak hanyut dalam cemburu buta tersebut.

Dan yang kedua, ada satu pelajaran penting bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang tidak cemburu. Siapapun dari kita pasti cemburu, kenapa? Karena cemburu buta itu adalah bisikan setan yang berkepentingan untuk merusak rumah tangga kita.

Karena itu satu-satunya obat untuk mengobati cemburu buta adalah memohon perlindungan kepada Allah

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَـٰنِ نَزْغٌۭ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ

Kalau engkau mulai digoda oleh setan maka obatnya hanya ada satu, memohon perlindungan dari Allah. [QS Fusshilat: 36]

Ini pelajaran penting bagi kita bahwa tidak ada satu orangpun dari kita yang tidak dirundung, tidak terkena badai cemburu buta. Semua kita merasakan cemburu buta namun hanya orang-orang yang senantiasa berlindung kepada Allah dari godaan setan, hanya merekalah yang bisa selamat dari cemburu buta yang mengancam keutuhan rumah tangga kita

Ini sekelumit dari keteladanan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam sebagai seorang suami, yang juga sebagai seorang Uswah Rasul (teladan) kita semua dalam mengarungi mahligai rumah tangga.

Semoga apa yang disampaikan menjadikan keluarga kita betul-betul baiti jannati (Rumah tanggaku adalah Surgaku)

و السلام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 10: Persaksian Palsu

 🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Selasa, 18 Rabi'ul Akhir1443 H/23 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 10: Persaksian Palsu

〰〰〰〰〰〰〰

PERSAKSIAN PALSU
 

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أما بعد

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah (آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas seputar:

▪︎ Persaksian Palsu (شهادة الزور)

⑴ Definisi Az Zūr (الزور)

Dalam bahasa Arab lafadz: الزور memiliki arti:

تحسين الشيء، ووصفه بخلاف صفته

Membaguskan sesuatu dan menyifatinya dengan keadaan yang bertolak belakang dengan aslinya.

Tujuannya agar orang yang mendengarkan akan berpikir bahwa hal tersebut merupakan perkara yang bagus, padahal tidak demikian.

Berdasarkan definisi di atas, maka beberapa amalan-amalan buruk dapat masuk dalam kategori perbuatan الزور di antaranya syirik. Sebab orang yang melakukan perbuatan syirik mengira bahwa apa yang ia kerjakan merupakan amalan yang baik, padahal tidaklah demikian.

Begitu juga nyanyian (الغِنَاء), sebab suara nyanyian bisa menyihir pendengaran, sehingga mereka senang dan suka terhadapnya. Begitu halnya dengan dusta, sebab orang yang mendengar kedustaan atau sebab kedustaan akan menggiring opini orang lain agar menganggap apa yang ia sampaikan adalah kebenaran.

Dari sini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa penulis berpendapat bahwa perbuatan الزور tidak hanya berarti kesaksian palsu akan tetapi segala perbuatan buruk yang bisa memalingkan orang dari kebenaran yang sesungguhnya. Seperti syirik, nyanyian, kedustaan serta berbagai hal yang semisalnya.

Kemudian beliau memberikan alasan, bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan kalimat الزور ini dalam Al Qur'ān dengan cara yang umum, bukan untuk menyifati perbuatan tertentu.

⑵ Ancaman bagi Orang-orang yang Melakukan Perbuatan Az Zūr (الترهيب من الوقوع في شهادة الزور)
 
Cukup banyak dalīl, baik dari Al Qur'ān maupun dari Hadīts Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam masalah ini, di antaranya ialah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًۭا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًۭا

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allāh biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allāh lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allāh adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."

(QS. An Nissā: 135)

Allāh Subhānahu wa Ta'āla juga berfirman:

وَٱلَّذِينَ هُم بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ قَآئِمُونَ

"Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya."

(QS. Al Ma'ārij: 33)

وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَـٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌۭ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌۭ

"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya,dan Allāh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

(QS. Al Baqarah: 283)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."

(QS. Al Isrā: 36)

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَـٰنًۭا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah, "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allāh dengan sesuatu yang Allāh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allāh apa yang tidak kamu ketahui."

(QS. Al A'rāf: 33)

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Al Jauzi rahimahullāh menuturkan bahwa firman Allāh: وَأَن تَقُولُواْ عَلَى الله مَا لاَ تَعْلَمُونَ , merupakan dalil umum seputar haramnya berkata-kata tentang permasalahan agama tanpa ilmu.

Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Bakrah radhiyallāhu 'anhu,  Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ

"Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar?"

Para sahabat menjawab:

بلى يارسول الله،

"Tentu, ya Rasūlullāh?"

Kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab:

الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

"Menyekutukan Allāh dan mendurhakai kedua orang tua."

وكان متكئا وجلس

Ketika itu Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersandar kemudian Beliau duduk sembari bersabda:

ألا و قَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ

"Berkata dusta dan persaksian palsu."

Beliau terus mengulangi hingga kami bergumam, "Semoga beliau berhenti mengucapkannya."

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dalam hadīts lain, diceritakan bahwa suatu hari, selepas melaksanakan shalat subuh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berdiri seraya bersabda:

عدلت شهادة الزور بالإشراك بالله ﷻ‬ ثم تلى هذه الآية

"Persaksian palsu dosanya menyerupai dosa perbuatan syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla."

Kemudian Beliau membaca firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَـٰنِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ ۞ حُنَفَآءَ لِلَّهِ غَيۡرَ مُشۡرِكِينَ بِهِ

"Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Beribadahlah dengan ikhlas kepada Allāh, tanpa mempersekutukan-Nya."

(QS. Al Hajj: 30-31)

Saat ditanya oleh salah seorang shahabat seputar al kabair (dosa-dosa besar) Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lantas menjawab:

الإشراك بالله، وعقوق الوالدين، وقتل النفس، وشهادة الزور

"Menyekutukan Allāh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh dan sumpah palsu."

Dalam Shahīhnya, Imam Al Bukhāri rahimahullāh membuat bab khusus seputar شهادة الزور ini. Di antara hadīts yang beliau bawakan ialah:

إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ و يَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ

"Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang berkhianat sehingga mereka tidak bisa dipercaya, mereka suka bersaksi padahal tidak dimintai persaksian."

Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

"Sebaik-baik manusia adalah orang yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang setelahnya kemudian orang-orang setelah mereka.

 ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسبِقُ شَهَادَة أحدِهمْ يَمِينه وَيَمِينه شَهَادَته

Kemudian akan datang sebuah kaum yang  persaksian seorang dari mereka di dahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 3651)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan perbuatan keji, Allāh tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6057)

Artinya adalah puasa orang tersebut akan sia-sia jika masih tetap melakukan perbuatan yang Allāh larang seperti قَوْلَ الزُّورِ dan شهادة الزور dan sebagainya.

Dari berbagai dalīl tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa, Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengharamkan persaksian palsu karena dapat menyebabkan إبطال الحق , yaitu penyebabkan perkara yang hak menjadi terhalang.

صلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه وسلم
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

________

Selasa, 23 November 2021

Muqoddimah (Bagian Pertama)

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _SENIN_
 | _17 Rabi’ul Akhir 1443H_
 | _22 November 2021M_

🎙 *Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى*
📗 *Fiqih Nikah / Baity Jannaty*

🔈 *Audio ke-01*
📖 *Muqoddimah (Bagian Pertama)*
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ أَمَّا بَعْد

Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam Al-Qurān Al-Karim telah menggambarkan bahwa idealnya rumah tangga itu adalah rumah tangga yang bagaikan surga. Bukan rumah tangga yang penuh dengan derita atau penuh dengan keluh kesah. 

Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjadikan hubungan suami dan istri, dan rumah tangga seorang muslim sebagai satu dari sekian banyak tanda kuasa dan keagungan Allah Azza Wa Jalla. Allah Azza Wa Jalla berfirman:

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kalian rasa kasih dan sayang.” [QS Ar-Rum: 21]

Dan di antara tanda kuasa Allah, di antara tanda keagungan Allah Azza Wa Jalla yang tatkala engkau melihatnya, engkau mendapatkannya, engkau akan segera teringat akan keagungan Allah. 

Menjadikan Anda sadar akan kebesaran Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga lisan Anda akan senantiasa melantunkan tasbih, melantunkan kalimatus-syukr, ucapan syukur kepada Allah. Dan hati Anda akan senantiasa bertakbir mengakui akan keagungan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. 

Di antara tanda keagungan Allah adalah dijadikannya, 

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ

Di antara tanda keagungan Allah adalah Allah menciptakan dari diri kalian, azwājan (أَزْوَٰجًا), istri-istri untuk kalian, 

لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا

Kemudian Allah jelaskan, mengapa adanya istri, hadirnya istri menjadi tanda keagungan Allah?

Karena Allah tegaskan, 

لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا

“Agar kalian dengan istri-istri itu mendapatkan sakinah, kedamaian, ketenangan.”

Ketika nafsu birahi Anda bergejolak, maka Anda mendapatkan penawarnya di istri Anda. Ketika akal pikiran Anda sedang galau, Anda sedang berhadapan dengan problematika yang sangat besar, yang sangat berat, maka Anda akan mendapatkan jawaban dan solusinya pada istri Anda.

Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam mencontohkan akan hal ini. Betapa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dengan segala kesempurnaan seorang lelaki, dengan ilmu sebagai seorang Rasul, dengan dukungan para Malaikat, wahyu dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. 

Namun demikian, Beliau sering menemukan solusi bagi problematika yang Beliau hadapi. Di mana? Bukan di konsultan, bukan dari seorang yang gagah perkasa, tetapi Beliau menemukan solusi itu pada istrinya yang berusaha memandang, menilai, dan mengurai problematika dengan kelembutan seorang wanita dan kasih sayang seorang wanita yang setia.

Suatu hari Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika Perang Hudaibiyah. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam membawa pasukannya, para sahabat yang telah sekian lama merindukan Kota Mekkah. 

Terlebih kaum Muhajirin, yang telah sekian lama terusir dari kampung halamannya. Telah sekian lama mereka tidak berkesempatan untuk bisa berthawaf di sekitar Ka'bah. Rasa rindu yang luar biasa. Setelah sekitar 7 tahun, kesempatan itu terbuka kembali. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersama para sahabat memutuskan untuk ke Mekkah, pergi ke Mekkah menunaikan umrah. 

Namun demikian di tengah jalan, ketika Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam telah tiba di daerah Hudaibiyah, perbatasan kota Mekkah alias sesaat lagi umroh telah di depan mata, Ka'bah telah di depan mata. Ternyata Quraisy telah keluar dengan segala kemampuan yang mereka miliki, pasukan yang mereka miliki. 

Mereka bertekad untuk menghalangi Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dengan para sahabatnya agar tidak menunaikan ibadah umroh pada saat itu. Maka negoisasi demi negoisasi telah dilangsungkan agar kaum muslimin bisa menunaikan ibadah umroh. 

Namun Quraisy tetap bersikukuh bahwa Nabi beserta para sahabat tidak boleh menunaikan ibadah umrah pada tahun tersebut, mereka harus kembali. Karena Quraisy ingin menjaga supremasinya sebagai penguasa Arab, bahwa siapapun tidak bisa sesuka hatinya berthawaf keliling di sekitar Ka'bah kecuali atas izin dan restu dari Quraisy. 

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dengan segala pertimbangan dan juga atas petunjuk wahyu dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Nabi memerintahkan para sahabat untuk tahallul, mengurungkan niat menunaikan ibadah umroh. Dengan konsekuensi para sahabat setelah perjanjian Hudaibiyah tersebut akan diberi kesempatan menunaikan ibadah umroh. 

Kapan? Pada tahun depan, dengan ketentuan ketika para sahabat menunaikan ibadah umroh, Quraisy akan keluar dari perumahannya, dari rumah masing-masing, menjauh, tidak ingin menyaksikan, tidak ingin hadir menyaksikan langsung Nabi dan para sahabat menunaikan ibadah umroh. 

Tentu para sahabat yang hari itu berjumlah besar, lebih dari 1.300 pasukan. Dengan membawa senjata yang lengkap, mereka merasa telah memiliki kekuatan untuk melawan arogansi Quraisy. Para sahabat kecewa, rindu terhadap Ka'bah. Arogansi Quraisy tiada henti. 

Maka para sahabat mengharapkan agar Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menganulir perintah tersebut. Perintah untuk bertahallul, mengakhiri, atau membatalkan ibadah umroh. 

Maka para sahabat ketika membatalkan perintah ini mereka semua tidak mematuhi perintah Nabi. Dengan harapan Nabi melihat kesungguhan dan jiwa patriotik para sahabat yang siap berkorban melawan arogansi Quraisy. 

Namun demikian Wahyu telah turun, memerintahkan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dan para sahabat untuk kembali ke kota Madinah. Dan menjalankan poin-poin kesepakatan dengan orang-orang Quraisy.

Maka rasa kecewa para sahabat menjadikan mereka lupa daratan. Amarah, rasa kecewa yang begitu besar menjadikan mereka lupa, bahwa mereka berhadapan dengan Rasul. Mereka mendapatkan perintah dari Rasul yang,

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ

“Tidaklah dia berkata-kata dari hawa nafsu.” [QS An-Najm: 3]

Tapi,

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ

“Semua itu adalah Wahyu yang Allah turunkan kepada Beliau.” [QS An-Najm: 4]

Ketika Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menyaksikan para sahabat yang tidak satupun mereka tunduk dan patuh kepada perintah Beliau, maka Beliau murka dan kecewa dengan sikap sahabatnya ini. Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam masuk ke salah satu tenda istri Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam yaitu, Ummu Salamah. 

Dalam kondisi mukanya memerah marah, maka Ummu Salamah dengan kelembutan seorang wanita berusaha memberikan solusi yang penuh dengan kelembutan namun sangat efektif. Beliau dengan kehangatan seorang istri menghampiri Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam. Menunjukkan rasa empati dengan apa yang sedang dialami oleh Nabi.

مَنْ أَغْضَبَكَ أَغْضَبَهُ اللَّهُ

Wahai suamiku, wahai Rasul, siapakah yang telah menjadikan Engkau murka? Semoga Allah jadikan dia murka pula. Semoga Allah balas perbuatan dia yang telah menjadikan Engkau murka, Allah jadikan dia murka juga. 

Nabi mengatakan, “Wahai Ummu Salamah, bagaimana Aku tidak marah? Bagaimana aku tidak kecewa? Aku seorang Rasul, Aku pemimpin, Aku perintahkan sahabatku untuk tahallul, menghentikan, membatalkan rencana umroh. Namun,

 فلا أطاع

“Tidak satupun yang taat, tidak satupun yang tunduk kepada Ku.” 

Maka ummu Salamah naluri seorang istri yang penuh dengan kelembutan, Beliau bertanya kepada Nabi,

أَوى تُحِبُّ ذَلِكَ،

Wahai suamiku, apakah engkau betul-betul menginginkan agar para sahabatmu semuanya bertahallul?

قال: بالا

“Ya betul, Aku menginginkan itu”, kata Nabi.

Maka Ummu Salamah dengan kelembutan seorang wanita memahami bagaimana solusi paling jitu. Beliau bisa memahami apa yang ada di perasaan para sahabat. Apa yang menimpa para sahabat dengan perintah ini? Kecewa, amarah, sehingga menjadikan mereka lepas kontrol, emosi yang begitu memuncak menjadikan para sahabat lupa, bahwa mereka berhadapan dengan perintah Nabi. 

Maka Ummu Salamah berkata kepada Nabi dengan lembutnya,

اخْرُجْ ثُمَّ لاَ تُكَلِّمْ أَحَدًا

Wahai Nabi, kalau engkau betul-betul menginginkan agar para sahabat bertahallul mengurungkan ibadah umrohnya, maka segera engkau keluar lagi dari tenda ini. Jangan engkau berbicara dengan siapapun sampai engkau panggil tukang cukurmu, kemudian dia segera mencukur rambutmu. Niscaya mereka semua akan berbondong-bondong mengikutimu, menuruti perintahmu. 

Maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam sadar bahwa ternyata solusi seorang istri yang penuh dengan kelembutan, efektif. Beliau pun mulai sadar bahwa ternyata solusinya begitu sederhana. Hanya dibutuhkan kelembutan. Ketegasan perintah, kewibawaan, kecerdasan kadangkala terbukti kurang efektif. Kecuali bila dibingkai dengan kelembutan seorang perempuan. 

Kearifan seorang lelaki, keberanian, ketegasan instruksi ataupun perintah ternyata membutuhkan satu kemasan yang lembut, satu kemasan yang bijak dari seorang wanita, sentuhan seorang wanita yang seringkali wanita itu secara komunikasi, secara bahasa kurang mampu. Tetapi mereka lebih pandai mengutarakan isi hati dengan sebuah aksi atau tindakan atau ekspresi. 

Maka Nabi ketika memahami arahan ataupun saran dari Ummu Salamah, Beliau segera keluar dari tenda. Beliau panggil tukang cukur dan segera mencukur rambut Beliau. 

Ketika para sahabat melihat Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam betul-betul telah mencukur rambutnya, maka tidak ada lagi tersisa ruang untuk adanya nasakh, adanya anulir perintah. Tidak mungkin ada Wahyu yang menganulir, membatalkan perintah untuk tahallul. 

Maka segera mereka berbondong-bondong, mencukur rambutnya. Namun masih dalam kondisi emosi, marah, kecewa dengan Quraisy yang telah menjadi biangnya, gagalnya, urungnya ibadah umroh mereka. Tertundanya obat rasa rindu mereka, rasa rindu mereka tertunda, belum mendapatkan obatnya dengan menunaikan ibadah umroh. 

Subhanallah. Nabi, dengan keilmuannya. Nabi, dengan segala bimbingan dari Allah Azza Wa Jalla, Wahyu yang turun kepada beliau. Ternyata sentuhan lembut wanita tetap dibutuhkan kehadirannya dalam kehidupan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam . Subhanallah.

Semoga apa yang disampaikan menjadikan keluarga kita betul-betul Baiti Jannaty, Rumah Tanggaku Adalah Surgaku. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

Halaqah 09: Dusta yang Diperbolehkan

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Senin, 17 Rabi'ul Akhir1443 H/22 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya 
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 09: Dusta yang Diperbolehkan

〰〰〰〰〰〰〰

*DUSTA YANG DIPERBOLEHKAN*
 

بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله، أما بعد

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla. 

*▪︎ Dusta yang Diperbolehkan* 

Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum radhiyallāhu 'anhā, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

ليس الكذَّابُ الذي يصلح بين الناس فينمي خيراً، أو يقول خيراً

_"Tidaklah disebut sebagai seorang pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia, kemudian dia menyampaikan (mengatakan) hal-hal yang baik dari satu pihak yang bertikai kepada pihak yang lain."_

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam tidaklah memberikan keringan kepada seseorang untuk berkata dusta kecuali dalam tiga keadaan:

⑴ Dalam peperangan.
⑵ Dalam rangka melerai kedua pihak dalam berselisih.
⑶ Dusta seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya demi menjaga keharmonisan keluarga.

Imam An Nawawi rahimahullāh menuturkan hadīts ini dengan tegas menjelaskan bahwa terdapat dusta yang diperbolehkan jika ada maslahat di baliknya. Para ulama sendiri telah menjelaskan syarat dan ketentuan untuk dusta yang diperbolehkan.

Di antaranya ialah yang disampaikan oleh Imam Al Ghazali rahimahullāhu ta'āla.

Beliau berkata: 

"Ucapan merupakan sarana untuk mencapai maksud yang diinginkan dan setiap tujuan yang baik, yang mungkin untuk diraih dengan berkata jujur ataupun dust. Maka dalam hal ini kedustaan terlarang sebab tidak adanya keadaan mendesak untuk berdusta. 

Akan tetapi jika tujuan baik yang dimaksud tidak mungkin diraih kecuali dengan berdusta, maka dalam keadaan ini dusta merupakan hal yang diperbolehkan. Jika memang tujuan yang ingin diraih bersifat mubah. Sedangkan jika tujuan yang dimaksud bersifat wajib maka berdusta dalam kondisi seperti ini menjadi sebuah kewajiban." 

Contohnya: 

Jika ada seorang muslim yang sedang sembunyi dari orang yang berlaku zhalim, kemudian orang zhalim tersebut bertanya kepada kita. Maka kita wajib berdusta dengan mengatakan, "Bahwa kita tidak mengetahui keberadaan orang tersebut."

Begitu juga jika ada orang jahat yang hendak merampas suatu barang titipan, maka kita wajib berdusta bahkan jika kita ditantang untuk bersumpah maka kita diharuskan untuk bersumpah sembari bertauriyah yaitu meniatkan maksud lain dalam sumpahnya. 

Namun dengan catatan bahwa ia tidak bisa melindungi seseorang atau hak orang lain kecuali dengan berdusta. 

Dan ada cara yang lebih selamat dalam hal ini, ialah Ia melakukan tauriyah dalam sumpahnya yaitu menggunakan kalimat tertentu yang bisa ditafsiri dengan makna lain yang sesuai dengan kenyataan alias bukan kedustaan. 

Meskipun secara tersirat kalimat yang dia ucapkan merupakan kedustaan. Namun meskipun ia tidak melakukan tauriyah saat itu, maka kedustaan yang ia lakukan tetaplah diperbolehkan dalam kondisi tersebut.

Secara singkat, barometer untuk kedustaan yang mubah adalah jika hal tersebut dilakukan dengan tujuan yang benar, baik untuk dirinya atau tujuan tersebut untuk orang lain. 

Seperti jika ada orang zhalim yang hendak merampas hartanya atau seseorang yang memiliki kedudukan meminta kita untuk melakukan perbuatan yang buruk.

Adapun contoh yang bertujuan untuk menjaga keselamatan orang lain, misalnya ada orang yang bertanya kepada kita tentang rahasia seseorang, maka dalam hal ini tidaklah mengapa untuk berdusta. 

Akan tetapi perlu dicatat sebelum melakukan kedustaan, hendaknya kita sudah memastikan bahwa kerusakan yang terjadi jika kita berkata jujur dalam kondisi ini akan lebih besar dibanding saat kita berdusta.

Ibnul Qayyim rahimahullāhu ta'āla pernah membawakan sebuah atsar dari sahabat Umar radhiyallāhu 'anhu: 

إن في معاريض الكلام ما يغني الرجل عن الكذب

_"Sesungguhnya: معاريض الكلام bisa menjadi jalan pintas agar seseorang tidak perlu berdusta."_

Hal senada juga diungkapkan oleh shahabat Ibnu Abbās radhiyallāhu 'anhumā:

ما يسرني بمعاريض الكلام حمر النعم

⇒ Yang dimaksud: معاريض الكلام , adalah saat seseorang mengucapkan sebuah perkataan dengan maksud tertentu, namun orang yang mendengar akan memahami dengan maksud lain. 

Dalam sirah nabawiyyah kita juga mendapati sikap seperti ini pernah dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam suatu peperangan. Saat itu Beliau bertanya kepada sekelompok orang demi menggali informasi jumlah pasukan kaum musyrikin.

Saat orang-orang tersebut bertanya seputar asal mereka, Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab, "من الماء" bisa kita artikan dari air. Kalimat: من الماء dari air, yang dimaksud oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: 

خُلِقَ مِن مَّآءٖ دَافِقٖ

_"Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar." :_

(QS. Ath Thāriq: 6)

Tentunya orang yang bertanya tadi tidak akan memahami yang demikian, justru malah membuat mereka semakin binggung dengan jawaban Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tadi.

Contoh serupa juga kita dapati dari beberapa ulama terdahulu di antaranya ialah Hammād rahimahullāhu ta'āla. Di mana jika ada orang yang beliau tidak begitu suka duduk dengannya, beliau akan memegang pipi beliau sembari berkata, "Gigiku...oh gigiku," menunjukkan seakan-akan beliau sedang sakit gigi.

Imam Ahmad rahimahullāhu ta'āla pernah menuturkan bahwa: الحيل atau tipu muslihat ada tiga macam.

⑴ Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dan ini termasuk amalan yang paling afdhal. 

⑵ Bersifat mubah atau diperbolehkan yang mana tidak mengapa jika seseorang melakukannya, meskipun hal ini lebih baik untuk ditinggalkan.

⑶ Diharamkan, yang mana terkandung di dalamnya siasat untuk menghilangkan suatu kewajiban yang seharusnya menjadi kewajiban kita atau dalam rangka menghalalkan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah larang ? Maka jenis ketiga ini yang merupakan: الحيل atau tipu muslihat yang terlarang sebagaimana penuturan para ulama.

صلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه وسلم 
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

____________________

Minggu, 21 November 2021

Halaqah 08: Dusta Secara Umum

🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Jum'at,14 Rabi'ul Akhir1443 H/19 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 08: Dusta Secara Umum

〰〰〰〰〰〰〰

DUSTA SECARA UMUM
 
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله أما بعد

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.

Pada kesempatan kali ini kita membahas seputar:

▪︎ DUSTA SECARA UMUM (الكذب على وجه العموم)

• Poin Pertama | Hukum Berdusta (حكم الكذب)

Imam An-Nawawi rahimahullāh pernah berkata berbagai dalīl baik dari Al-Qur'an maupun Hadīts Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam hingga ijma' kaum muslim dengan tegas menyatakan bahwa dusta merupakan perbuatan yang diharamkan.

Di mana dusta merupakan perbuatan yang buruk dan keji, cukuplah hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berikut ini sebagai alasan untuk menjauhkan diri dari perbuatan dusta.

Di mana beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

"Ciri atau tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara dusta, jika berjanji ia ingkar dan jika diberi amanat dia kiamat."

(Hadīts shahīh riwayat Al-Bukhāri nomor 6095)

• Poin Kedua | ( التر هيب ) Ancaman Bagi Orang yang Berdusta Secara Umum

Maksud dari kalimat العموم di sini adalah baik kedustaan atas nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla, atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam atau kedustaan-kedustaan yang lain.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا

"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya." (QS. Al-Isrā': 36)"

Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu,  Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

"Sesungguhnya kejujuran akan membimbing kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan senantiasa membimbing ke surga, dan sesungguhnya jika seseorang senantiasa berlaku jujur nantinya ia akan dicatat sebagai seorang yang jujur, dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu akan  menggiring ke neraka dan sesungguhnya jika seseorang selalu berlaku dusta sehingga nantinya ia dicatat sebagai seorang pendusta."

(Hadīts shahīh riwayat Al-Bukhāri nomor 6094)

Kemudian dalam shahīh Imam Al-Bukhāri rahimahullāh pernah membawakan sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh sahabat Hakim bin Hazām radhiyallāhu 'anhu.

Di mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوِرَكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

"Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyār (خِيَار) yaitu pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli selama keduanya belum berpisah.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melanjutkan, "Jika keduanya jujur dan menampakkan barang dagangannya sebagaimana adanya, maka keduanya diberkahi dalam jual belinya apabila keduanya menyembunyikan dan berdusta maka akan hilang keberkahan jual belinya."

(Hadīts shahīh riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)

Dalam hadīts lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:

ويلٌ للذي يُـحَدِّثُ بالحديث ليضحك به القوم فيكذب، ويلٌ له، ويلٌ له

"Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang lain, hingga kemudian dia rela untuk berbohong celakalah baginya dan celakalah baginya."

(Hadīts hasan riwayat Abu Dawud nomor 4990)

Dalam sebuah hadīts yang panjang yang diriwayatkan oleh sahabat Samurah bin Jundub radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bercerita tentang mimpi yang beliau lihat, di mana beliau melihat ada dua orang lelaki yang kemudian membawa beliau ke الأرض المقدسة yaitu Baitul Maqdis.

Sesampainya di sana kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melihat dua sosok lelaki yang salah satunya memegang besi yang ujungnya bengkok di tangannya. Kemudian besi tersebut dimasukkan ke dalam satu sisi mulut orang yang satunya hingga menembus tengkuknya. Kemudian dilakukan hal yang sama pada sisi mulut yang satunya lagi, lalu dilepas dari mulutnya dan dimasukkan kembali dan begitu seterusnya secara berulang-ulang.

Kemudian di akhir hadīts disebutkan bahwa orang yang diadzab tersebut merupakan seorang pendusta maka ia mendapatkan adzab seperti itu hingga hari kiamat (na'ūdzu billāhi tsuma na'ūdzubillāh).

Ayyuhal ikhwah rahimani wa rahimakumullāh

• Poin Ketiga | Seputar Dusta Tentang Mimpi yang Dilihat

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ

"Barangsiapa mengaku-ngaku melihat sebuah mimpi padahal ia tidak melihatnya, niscaya ia akan dipaksa untuk menyatukan dua biji gandum dan ia tidak akan pernah bisa melakukannya."

وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنَيْهِ الْآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Dan barangsiapa yang mencuri dengar pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukainya atau telah menyingkir untuk menghindarinya, maka telinganya akan dialiri cairan tembaga pada hari kiamat."

وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

"Dan barangsiapa yang membuat sebuah gambar dia akan disiksa dan dipaksa untuk menghidupkan gambar tersebut, dan dia tidak akan pernah mampu untuk melakukannya."

Demikian yang bisa kita baca pada kesempatan kali ini.

صلى الله على نبينا محمّد و على آله و صحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

________

Kamis, 18 November 2021

Halaqah 07: Berkata Atas Nama Allāh Tanpa Ilmu

 🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Kamis,13 Rabi'ul Akhir1443 H/18 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 07: Berkata Atas Nama Allāh Tanpa Ilmu

〰〰〰〰〰〰〰

BERKATA ATAS NAMA ALLĀH TANPA ILMU


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله  أما بعد

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.

Kali ini kita memasuki bab baru dari risalah ini yaitu:

▪︎ BERKATA ATAS NAMA ALLĀH TANPA ILMU (القول على الله بغير علم)

Bab ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama ialah seputar berdusta atas nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan Rasul-Nya shallallāhu 'alayhi wa sallam.  

Penulis membawakan pembahasan yang pertama yaitu:

⑴ Definisi Dusta

Imam An Nawawi rahimahullāh pernah berkata, menurut madzhab Ahlus Sunnah definisi dusta adalah mengabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Baik disengaja ataupun tidak. Akan tetapi jika tidak disengaja maka ia tidaklah berdosa.

⑵ Ancaman terhadap seseorang berdusta atas nama Allāh dan Rasul-Nya shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ikhwani Fīdīn rahimani wa rahimakumullāh.

Tidak diragukan lagi berdusta atas nama Allāh dan Rasul-Nya merupakan perkara yang lebih buruk serta lebih besar dosanya dari dusta yang lainnya. Terdapat banyak dalīl dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗا لِّيُضِلَّ ٱلنَّاسَ بِغَيۡرِ عِلۡمٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

"Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allāh untuk menyesatkan orang-orang tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allāh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim."

(QS. Al An'ām: 144)

Dalam ayat yang lain, Allāh berfirman:

وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ وَهُم بِرَبِّهِمۡ يَعۡدِلُونَ

"Dan jangan engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, dan mereka mempersekutukan Tuhan."

(QS. Al An'ām:150)

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan ancaman bagi mereka yang berani berdusta atas nama Allāh Ta'āla dan Rasul-Nya shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dalam sebuah hadīts shahīh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

لاَ تَكْذِبُوا عَلَىَّ، فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ ‏

"Janganlah kalian berdusta atas namaku, dan barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaknya dia bersiap untuk memasuki neraka."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 106)

Suatu ketika shahabat Az Zubair radhiyallāhu 'anhu pernah ditanya oleh putra beliau, "Mengapa aku jarang melihatmu menceritakan hadīts-hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, tidak seperti orang lain."

Kemudian beliau menjawab, "Sejatinya aku senantiasa menyertai Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam akan tetapi aku pernah mendengar Beliau bersabda:

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ‏

Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya ia persiapkan tempat duduknya di neraka."

(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah nomor 37)

Hadīts dengan makna yang serupa juga banyak diriwayatkan oleh shahabat lain di antaranya oleh shahabat Anas bin Mālik, Abu Hurairah dan Salamah bin Al Aqwa radhiyallāhu 'anhum.

Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga pernah bersabda:

"Sesungguhnya di antara kebohongan yang besar adalah bila seseorang mengaku sebagai anak dari orang yang bukan bapaknya atau seorang mengaku melihat sesuatu dalam mimpi padahal tidak bermimpi apapun atau seseorang mengatakan sesuatu atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apa yang tidak disabdakan."

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam juga pernah bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

"Cukuplah seseorang dianggap berbohong apabila dia menceritakan segala sesuatu yang ia dengar."

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 5)

Imam Mālik rahimahullāh pernah menuturkan:

"Ketahuilah bahwa seseorang tidak akan selamat jika ia menceritakan segala sesuatu yang ia dengar dan ia juga tidak akan pernah menjadi seorang pemimpin."

Ungkapan serupa pernah disampaikan oleh Abdurrahman bin Mahdi rahimahullāh.

⑶ Perbedaan berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan berdusta pada selainnya.

Setidaknya ada lima poin yang dijelaskan oleh pengarang rahimahullāh.

• Poin Pertama | Berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam merupakan perbuatan yang jauh diharamkan dan merupakan tindakan yang sangat buruk akan tetapi pelakunya tidak sampai pada derajat kafir kecuali dia menghalalkan hal tersebut, ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

• Poin Kedua | Imam Abu Muhammad Al Juwaini rahimahullāh berpendapat bahwa siapa saja yang berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan sengaja maka ia telah kufur.

Alasannya ialah, jika seseorang dengan sengaja berdusta dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menghalalkan suatu perbuatan padahal sejatinya hal tersebut diharamkan maka secara tidak langsung dia telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Di mana hal tersebut merupakan sebuah kekufuran, akan tetapi pendapat beliau ini dibantah oleh para ulama.

• Poin Ketiga | Ibnu Hajar rahimahullāh pernah menuturkan dosa berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam amatlah besar, sedangkan dusta selainnya kecil. Sehingga dalam hal ini berbeda meskipun keduanya terancam dengan api neraka.

Namun keadaannya tidaklah sama, bisa jadi keduanya berada dalam neraka yang sama. Akan tetapi orang yang berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam akan tinggal lebih lama dari pelaku dusta biasa.

Terlebih lagi dalam hadīts sebelumnya
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menggunakan kalimat: فليتبوأ , yang mana mengisyaratkan makna tinggal dalam jangka waktu yang cukup panjang, bahkan secara sepintas menunjukkan orang tersebut akan tinggal dalam neraka selamanya.

Sebab Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak menyebutkan tempat tinggal lain dalam hadīts tersebut, hanya saja berbagai dalīl lain yang tak terbantahkan menunjukkan bahwa orang yang kekal di dalam neraka hanyalah orang yang kafir.

Ikhawani Fīdin rahimani wa rahimakumullāh.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ

"Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain."

(Hadīts shahīh riwayat Muslim)

• Poin Keempat | Barangsiapa yang berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam maka ia telah fasik dan secara otomatis seluruh hadīts yang ia riwayatkan akan tertolak dan tidak akan bisa dijadikan sebagai hujjah.

• Poin Kelima | Berdusta atas nama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sejatinya merupakan bentuk kedustaan atas nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebab Allāh Subhānahu wa Ta'āla pernah berfirman:
 
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ۞ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ

"Dan tidaklah dia (Muhammad) mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa nafsu. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya."

(QS. An Najm: 3-4)

Oleh karenanya siapapun yang berani berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam maka ia terancam dengan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

قُلۡ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ

Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allāh niscaya dia tidak akan beruntung."

(QS. Yūnus: 69)

صلى اللّٰه على نبينا محمّد و على آله وصحبه و سلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

________

Halaqah 06: Namimah (النميمة)

 🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Rabu,12 Rabi'ul Akhir1443 H/17 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 06: Namimah (النميمة)

〰〰〰〰〰〰〰

 NAMIMAH (النميمة)


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله  أمابعد

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.

▪︎ NAMIMAH (النميمة)

Kali ini kita akan memasuki pembahasan seputar namimah.

Definisi dari namimah pernah disampaikan oleh Imam Al Ghazali rahimahullāh: النميمة في الأصل (namimah pada dasarnya adalah) menceritakan perkataan seseorang kepada orang lain, di mana hal tersebut merupakan sesuatu yang dibenci oleh orang yang mengatakan atau orang yang mendengarnya (baik merupakan aib atau bukan).

Seperti contohnya: Ada seorang yang biasa menyembunyikan hartanya lalu kita ungkapkan kepada orang lain, maka hal ini termasuk namimah.

Imam Nawawi rahimahullāh dalam Syarah Shahīh Muslim pernah menjelaskan bahwa definisi namimah ini adalah menceritakan ucapan seseorang pada orang lain untuk tujuan memicu kerusakan di antara mereka.

Dalam Shahīhnya, Imam Al Bukhāri membuat bab yang berjudul: ما يكره من النميمة (namimah yang terlarang). Menanggapi hal tersebut Imam Hajar rahimahullāh kemudian mengambil kesimpulan bahwa Imam Al Bukhāri memilih pendapat bolehnya melakukan namimah pada orang kafir sebagaimana dibolehkannya tajassus atau mencari-cari kelemahan di negeri orang kafir.

▪︎ HUKUM NAMIMAH

Namimah merupakan perbuatan yang diharamkan berdasarkan ijma' kaum muslimin sebagaimana dijelaskan di dalam Al Qur'an dan Hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

▪︎ ANCAMAN BAGI PELAKU NAMIMAH

Allāh Ta'āla berfirman:

هَمَّازٖ مَّشَّآءِۭ بِنَمِيمٖ ۞ مَّنَّاعٖ لِّلۡخَيۡرِ مُعۡتَدٍ أَثِيمٍ

"Suka mencela dan ke sana ke mari menyebarkan namimah. Menghalang-halangi perbuatan baik, suka melampaui batas dan gemar berbuat dosa." :-)

(QS. Al Qalam: 11-12)

وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ

"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela."

(QS. Al Humazah: 1)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

"Tidak akan masuk surga pelaku adu domba."

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 105)

Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh: قَتَّاتٌ. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan antara: نَمَّامٌ dan قَتَّاتٌ ialah:

√ Nammām (نَمَّامٌ) merupakan orang yang menyaksikan langsung kejadian yang ia ceritakan.
√ Qattāt (قَتَّاتٌ) hanya mendengar dari orang.

Ibnu Hajar rahimahullāh kemudian menjelaskan maksud dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: - لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ - (tidak akan masuk surga) adalah ia tidak akan langsung masuk surga.

Makna ini juga terkandung dalam hadīts-hadīts yang serupa dan hal ini merupakan madzhab Ahlus Sunnah wal Jamā'ah di mana mereka tidaklah mengkafirkan kaum muslimin karena perbuatan maksiat yang mereka kerjakan kecuali jika terdapat dalīl yang menjelaskannya secara khusus.

Ibnu Abdil Barr rahimahullāh pernah menuturkan bahwa pelaku namimah mampu membuat kerusakan dalam waktu singkat yang bahkan tidak mampu dilakukan oleh penyihir dalam kurun waktu setahun.

Dalam sebuah hadīts disebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mendengar dua orang yang disiksa dalam kuburnya. Kemudian Beliau menjelaskan bahwa orang pertama diadzab karena tidak menjaga kencingnya sedangkan orang kedua diadzab karena gemar mengadu-domba.

Kemudian Beliau memerintahkan untuk diambilkan sebatang dahan kurma yang masih basah lalu beliau belah menjadi dua dan Beliau tancapkan di atas kuburan keduanya. Kemudian Beliau bersabda, "Mudah-mudahan siksanya diringankan selama dahan ini belum mengiringi."

Ayyuhal ikhwah rahimani wa rahimakumullāh.

▪︎ SIKAP YANG TEPAT JIKA ADA ORANG YANG DATANG UNTUK TUJUAN MENGADU-DOMBA

Imam An Nawawi rahimahullāh menuturkan jika kita didatangi oleh orang yang berniat untuk mengadu domba antara kita dengan orang lain, maka hendaknya kita melakukan enam hal.

⑴ Tidak mempercayainya sebab namimah atau mengadu domba adalah orang fasik.

⑵ Menasihati dan mencegah orang tersebut dari perbuatan namimah.

⑶ Membencinya karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⑷ Tidak berprasangka buruk terhadap orang yang diceritakan.

⑸ Tidak berusaha mencari-cari kesalahan orang yang diceritakan.

⑹ Tidak membalas dengan menceritakan namimah orang tersebut seperti dengan menceritakan perbuatan namimah orang tersebut kepada orang lain.

▪︎ MANUSIA BERMUKA DUA (ذو الوجهين)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

إنّ شَرّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ

"Sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah seorang yang bermuka dua."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Di mana ia mendatangi sekelompok orang dengan satu sikap dan datang kepada orang lain dengan sikap yang berbeda.

Ibnu Hajar rahimahullāh menjelaskan bahwa sikap seperti ini termasuk dalam kategori namimah dan alasan para pelakunya mendapat gelar manusia yang terburuk adalah karena sikap tersebut menyerupai perangai orang munafik yang penuh dengan kedustaan.

Di mana ia berakting dihadapan suatu kaum seolah mendukung mereka dan memusuhi lawannya dan ini merupakan perbuatan nifak (penuh kedustaan dan tipuan).

Adapun jika seseorang melakukannya dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan kedua belah pihak yang sedang berselisih, dengan cara menceritakan kebaikan pihak pertama kepada pihak kedua dan menutupi kejelekannya agar mereka bisa memaklumi, maka hal ini merupakan sikap yang terpuji.

Dalam hadīts lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah  bersabda, "Barangsiapa yang memiliki dua wajah di dunia, niscaya pada hari kiamat ia akan memiliki dua lidah dari api neraka."

▪︎ ALASAN SESEORANG BERBUAT NAMIMAH

Tidak diragukan lagi alasan yang mendorong seseorang untuk berbuat ghibah dan mendorong seseorang berbuat namimah, di samping itu beberapa alasan lain juga bisa menjadi sebab munculnya namimah di antaranya adalah:

√ Perasaan benci kepada seseorang.
√ Keinginan untuk dekat dengan seseorang.
√ Ambisi untuk menciptakan kerusuhan dan fitnah hingga memecah-belah masyarakat dan menanamkan amarah di hati mereka.

▪︎ OBAT PENYAKIT NAMIMAH (علاج الغيبة)

Obat untuk penyakit ini sama persis dengan obat untuk penyakit ghibah yang pernah kita bahas sebelumnya.

▪︎ NAMIMAH YANG DIBOLEHKAN

Imam An Nawawi rahimahullāh pernah menuturkan jika memang darurat dan dibutuhkan maka namimah diperbolehkan dalam keadaan tertentu.

Seperti jika ada seseorang yang ingin membahayakan dirinya, harta atau keluarganya. Melaporkan seorang yang gemar berbuat kerusakan kepada pihak yang berwajib di mana sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk mengatasinya. Maka dalam keadaan seperti ini namimah diperbolehkan, bahkan terkadang menjadi wajib atau pun sunnah sesuai dengan kondisi yang ada.

Dalam Shahīhnya, Imam Al Bukhāri rahimahullāh membawakan sebuah hadīts yang menceritakan saat Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu melapor kepada Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam perihal seseorang yang merasa bahwa pembagian harta rampasan perang tidaklah adil.

Maka saat itu Beliau bersabda, "Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla merahmati Nabi Musa, sungguh ia telah mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dari ini namun ia mampu untuk bersabar."

Adapun namimah yang terlarang adalah jika bertujuan menimbulkan kerusakan, adapun jika bertujuan baik melakukannya dengan penuh kejujuran serta tidak menyakiti orang lain maka hal tersebut tidaklah terlarang.

Namun kebanyakan orang tidak mampu membedakan antara dua hal ini, maka jalan yang paling selamat ialah menjauhi namimah meskipun dalam keadaan yang mungkin kita diperbolehkan untuk melakukannya.

صلى اللّٰه على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم

________

Rabu, 17 November 2021

Halaqah 05: Ghibah yang Diperbolehkan

 🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Selasa,11Rabi'ul Akhir1443 H/16 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 05: Ghibah yang Diperbolehkan

〰〰〰〰〰〰〰

 GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله

Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.

BAB 9: GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN

Pembahasan ini sekaligus penutup dari pembahasan ghibah yaitu: ما يباح من الغيبة (ghibah yang diperbolehkan).

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

"Allāh tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Dan Allāh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

(QS. An Nissā': 148)

Diceritakan dalam sebuah hadīts yang shahīh bahwa Ummu Mua'wiyyah radhiyallāhu 'anhā pernah bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, ia mengadukan perilaku suaminya.

Ummu Mu'awiyyah mengatakan:

"Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang pelit, apakah aku berdosa jika aku mengambil sebagian hartanya secara sembunyi-sembunyi untuk mememenuhi kebutuhanku dan juga anakku?"

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lantas menjawab, "Ambillah sesuai kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang ma'ruf."

Kemudian penulis juga membawakan kisah Fāthimah binti Qais yang dilamar oleh dua orang shahabat setelah diceraikan oleh suaminya yang terdahulu. Kedua laki-laki tersebut adalah Abu Jahm dan Mua'wiyyah radhiyallāhu 'anhumā.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lantas menjelaskan keadaan kedua pria tersebut.

Beliau mengatakan:

أَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ

"Adapun Abu Jahm, maka dia tidak meletakkan tongkatnya dari puncaknya."

Terdapat dua tafsiran ulama untuk kiasan Rasūlullāh ini.

⑴ Abu Jahm merupakan sosok pria yang gemar bersafar alias jarang di rumah.
⑵ Abu Jahm sering memukul wanita.

وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ

"Sedangkan Mua'wiyyah adalah orang yang miskin tidak mempunyai harta."

Lalu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menawarkan Fāthimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallāhu 'anhu. Pernikahan pun berlangsung dan Allāh Ta'āla melimpahkan keberkahan dalam rumah tangganya.

Suatu ketika seorang lelaki meminta izin untuk menemui Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Sebelum lelaki tersebut masuk, Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata kepada Aisyah radhiyallāhu 'anhā:

بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ

"Ia adalah seburuk-buruk lelaki dari kaumnya."

Kalimat tersebut merupakan gambaran dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang betapa buruknya akhlak lelaki yang hendak menemuinya saat itu.

Namun saat lelaki tersebut masuk, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam justru bertutur kata lemah-lembut terhadapnya. Selepas kepergiannya 'Aisyah radhiyallāhu 'anhā dengan penuh keheranan bertanya, "Mengapa engkau berlemah-lembut kepadanya, wahai Rasūlullāh? padahal sebelumnya engkau telah menceritakan betapa buruk akhlak orang tersebut?"

Kemudian Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ، أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ، اتِّقَاءَ فُحْشِهِ‏.

"Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan oleh orang lain karena takut akan kekejiannya."

Dalam Shahīh Al Bukhāri terdapat sebuah bab seputar bolehnya menyebutkan ciri khas fisik seseorang, seperti tingginya, kemudian dia pendek (misalkan) selama bukan bertujuan untuk mencela. Beliau juga mencontohkan dengan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang menyebut seseorang dengan sebutan: ذواليدين , karena orang tersebut memiliki tangan yang panjang.

Imam Nawawi rahimahullāh pernah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam beberapa keadaan, di antaranya:

⑴ Mengadukan tindak kezhaliman kepada penguasa, hakim atau pihak yang berwenang seperti dengan mengatakan, "Si Fulan telah berbuat zhalim kepadaku."

⑵ Meminta tolong dalam menghilangkan suatu perbuatan mungkar dan membuat pelakunya kembali kepada jalan yang benar.

Semisal meminta kepada orang yang mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan, "Si Fulan telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar bisa lepas dari tindakannya tersebut."

⑶ Dalam rangka meminta fatwa kepada seorang ulama, seperti dengan mengatakan, "Si Fulan atau ayahku (misalnya) telah berbuat zhalim kepadaku, bagaimana caranya agar aku bisa selamat dari perbuatannya?"

Akan tetapi para ulama menjelaskan dalam keadaan seperti ini (meminta fatwa) akan jauh lebih baik jika ia tidak menyebutkan identitas orang tersebut. Semisal dengan mengatakan, "Ada seorang ayah yang berbuat zhalim kepada anaknya, bagaimana hukumnya?" Dan semisal.

Namun jika tetap menyebutkan identitas Si Pelaku dalam hal ini tidaklah mengapa, sebagaimana kisah Ummu Mua'wiyyah saat mengadukan perbuatan sang suaminya (Abu Sufyan) kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

 ⑷ Memperingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan.

Dalam hal ini terdapat beberapa contoh.

Misalnya:

√ Waktu memperingatkan kejelekan hapalan suatu rawi dan para saksi dalam sebuah perkara. Memperingatkan kejelekannya, hal ini justru merupakan kewajiban demi melindungi syariat Islām.

√ Menyebutkan aib seseorang sebelum mengambil keputusan dalam musyawarah. Di antaranya juga jika kita melihat seseorang membeli suatu barang yang cacat, maka kita sampaikan kepada Si Pembeli dalam rangka semata-mata untuk menasehati.

√ Saat kita melihat seorang penuntut ilmu yang sering datang belajar kepada orang yang fasik ataupun mubtadi' (ahli bid'ah) dan kita takut ia akan mendapat pengaruh buruk dari orang tersebut. Maka kita menjelaskan keburukan orang yang ia datangi tadi dalam rangka menasihati Si Penuntut Ilmu.

√ Melaporkan seorang pemegang jabatan kepada atasannya lantaran orang yang dilaporkan sejatinya tidak memiliki kapabilitas untuk memegang jabatan tersebut atau dia merupakan seorang yang fasik.

Kemudian keadaan ghibah yang dibolehkan selanjutnya adalah:

⑸ Membicarakan orang yang secara terang-terangan berbuat dosa, maka kita boleh menyebutkan perbuatan maksiat yang dia kerjakan secara terang-terangan, namun tidak diperbolehkan mengghibahinya dalam perkara yang lain.

⑹ Menyebut orang lain dengan sebutan yang sudah ma'ruf dan bukan dengan maksud mencela. Seperti: الأعمى , sebutan seorang yang buta, Si Pincang, Si Pendek dan sebagainya. Namun akan lebih baik jika hal seperti ini ditinggalkan jika memungkinkan.

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullāh pernah menuturkan saat mensyarah pembahasan dalam Shahīh Al Bukhāri seputar bolehnya menggunjing pelaku maksiat yang terang-terangan (melakukan maksiat secara terang-terangan).

Beliau berkata, "Bisa kita simpulkan bahwa menggunjing orang yang terang-terangan dalam melakukan kemaksiatan tidak termasuk dalam ghibah yang terlarang."

Para ulama pernah berkata bahwa ghibah diperbolehkan pada setiap keadaan yang memiliki tujuan baik secara syariat.

Seperti:

Mengadukan kezhaliman, meminta tolong untuk menghilangkan kemungkaran, meminta fatwa, termasuk di dalamnya menjelaskan keadaan para perawi hadīts, kemudian menjelaskan keadaan para saksi dalam sebuah persaksian, melaporkan pemilik jabatan kepada atasannya, kemudian juga di tengah musyawarah (misalnya) musyawarah pernikahan. Begitu juga saat melihat penuntut ilmu yang berguru kepada ahli bid'ah.

Sebagian ulama kemudian meringkas enam keadaan diperbolehkan ghibah dalam sebuah bait.

القدح ليس بغيبة في ستَّةٍ متظلّمٍ، ومعرّفٍ، ومحذّرِ ومجاهرٍ فسقاً، ومستفتٍ ومن طلب الإعانةَ في إزالة منكرِ


________