Senin, 29 November 2021
Pengendalian Emosional Rumah Tangga Rasulullah Ketika dalam Kondisi Sedih Ditimpa Musibah
Halaqah 12: Al Qadzaf
Kamis, 25 November 2021
Pengendalian Emosional Rumah Tangga Rasulullah Ketika dalam Kondisi Bahagia
Halaqah 11: Dampak dari Persaksian Palsu
Rabu, 24 November 2021
Muqoddimah (Bagian Kedua)
🌐 WAG Dirosah Islamiyah
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad
▪🗓 SELASA
| 18 Rabi’ul Akhir 1443H
| 23 November 2021M
🎙 Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, Lc., M.A. حفظه الله تعالى
📗 Fiqih Nikah / Baiti Jannati
🔈 Audio ke-02
📖 Muqoddimah (Bagian Kedua)
~•~•~•~•~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، أَمَّا بَعْد
Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengelola dan membina rumah tangga tentu itu adalah satu-satunya cara yang paling efektif agar keluarga kita betul-betul menjadi baiti jannati karena Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam adalah manusia paling sempurna.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
[Al-Ahzāb: 21]
Sehingga beliau adalah teladan paling istimewa untuk kita ikuti, untuk kita jadikan panutan adalah nabi. Kenapa? karena beliau telah mendapatkan satu apresiasi dari Allah Azza wa jalla bukan dari manusia
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sungguh engkau (Muhammad) betul-betul memiliki, berada dalam akhlak yang sangat agung. [QS Al-Qalam: 4]
Sehingga kesempurnaan akhlak beliau bisa menjadikan beliau seorang figur yang sempurna dalam segala urusan. Pemimpin, pemimpin umat, Rasul, beliau juga sebagai seorang suami, beliau juga sebagai manusia biasa yang bisa marah dan lain sebagainya
Namun dalam segala kondisi beliau senantiasa berada dalam puncak akhlak yang mulia, selalu sukses memposisikan diri dan berinteraksi dengan cara-cara yang terbaik.
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam sebagai seorang pemimpin, seorang Rasul dan telah lanjut usia, kisaran atau kira-kira berumur lebih dari 50 tahun atau kisaran berumur 55 tahun atau kurang atau lebih sedikit.
Walaupun demikian, beliau memahami bagaimana pola pikir dan bagaimana perilaku seorang istri yang masih muda belia semisal Aisyah radhiyallahu ta’ala anha, dan bagaimana seharusnya seorang suami memperhatikan perasaan istri.
Ketika Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam pulang dari suatu perjalanan peperangan. Di tengah jalan beliau perintahkan para sahabat.
أن تَقَدَّمُوا
“Hendaknya kalian maju duluan.”
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersama Aisyah berduaan menanti para sahabat berada di tempat yang jauh, maka Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam menunjukkan sebagai seorang suami yang senantiasa harmonis dalam segala waktu dan dalam segala kondisi.
Beliau berkata kepada Aisyah,
لتسابقني
”Wahai Aisyah engkau harus mau berlomba lari dengan aku.“
Aisyah berkata, "Ya Rasulullah aku sudah gemuk seperti ini".
Maka Nabi mengatakan
لتفعلنّ
”Sungguh engkau harus melakukannya.“
Kita harus lomba lari, maka nabi pun berlomba lari dengan Aisyah, dan ternyata nabi menang, beliau lebih dahulu lebih cepat larinya dibanding Aisyah, kemudian setelah berhasil membuktikan kemenangannya. Beliau mengatakan,
هَذِهِ بِتِلْكَ
“Wahai Aisyah kemenanganku ini adalah tebusan dari kekalahanku dulu ketika kita awal nikah.”
Subhanallah, Nabi tidak pernah berkata, pernikahan kita sudah berumur puluhan tahun, Nabi tidak pernah berkata umurku sudah lanjut, datar-datar saja. Hubungan keharmonisan dalam rumah tangga dibutuhkan siapapun termasuk oleh orang yang sudah lanjut usia kita butuh kepada keharmonisan.
Subhanallah, Nabi tidak pernah melupakan apa yang pernah beliau lalui dari masa-masa yang indah dengan istri-istrinya. Beliau senantiasa kenang seperti dalam kasus ini, “kekalahanku dulu, aku tebus hari ini”.
Subhanallah, Siapa dari kita yang telah berumur pernikahannya lebih dari 10 tahun, pernikahannya telah berumur 20 tahun, namun masih seharmonis Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Siapa dari kita yang umurnya telah menginjak lebih atau kepala 5 namun masih bersendau gurau dengan istrinya lomba lari dengan istrinya.
Nabi tidak merasa sungkan, risih dengan sekian banyak pasukan yang mengetahui. Subhanallah... Itulah keteladanan.
Andai itu ada dalam rumah tangga kita, andai kita bisa melakukan itu dalam rumah tangga kita. Niscaya betul-betul baiti jannati (rumah tanggaku adalah surgaku).
Subhanallah. Di antara secuil (sedikit) dari kisah keteladanan Nabi. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam suatu malam pergi ke kuburan Baqi' karena mendapatkan perintah dari Allah Azza wa Jalla agar beliau mendoakan para penghuni kuburan Baqi'.
Aisyah sebagai seorang istri yang masih muda belia cemburu, ia menduga bahwa nabi pergi ke rumah istri yang lain maka Aisyah membuntuti kepergian Nabi. Namun ternyata Nabi tidak pergi ke istri yang lain namun Nabi pergi ke kuburan Baqi mendoakan, memohonkan ampunan untuk para penghuni kuburan Baqi'.
Maka segera Aisyah berpaling dan kemudian bergegas pulang ke rumah. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam dari kejauhan melihat ada sekelebat hitam yang bergegas lari maka Nabi segera membuntutinya. Setelah Aisyah berhasil masuk ke rumah dan pura-pura tidur. Namun nafas beliau tidak bisa berdusta, terengah-engah.
Maka Nabi berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah engkaukah hitam-hitam yang aku lihat dari kejauhan, sekelebat hitam yang aku lihat dari kejauhan?“
”Betul ya Rasulullah.“
Rasulullah memahami, memotivasi yang menjadikan Aisyah membuntuti langkah Nabi, dia merasa cemburu.
أغرتِ يا عائشة ؟
"Wahai Aisyah apakah engkau cemburu, khawatir kalau aku pergi ke istriku yang lain?"
Maka Aisyah segera berkata,
كيف لا يغارو مثل على مثلك يا رسول الله ؟
“Ya Rasulullah, bagaimana mungkin istri seperti aku ini tidak cemburu, tidak khawatir engkau itu pergi ke istri yang lain.”
Siapa yang tidak cemburu, memiliki suami yang serba sempurna akhlaknya, ketampanannya, keimanannya.
Subhanallah... maka Nabi kemudian menjelaskan bahwa sejatinya tadi bahwa Malaikat Jibril memanggilku dari luar rumah. Dia tidak mungkin masuk ke rumah karena aku telah berada dalam satu selimut denganmu. Maka dia memanggil dari luar rumah dan memerintahkan aku agar aku memohonkan ampunan teruntuk penghuni kuburan Baqi, maka aku pun pergi.
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan penjelasan (wejangan) kepada istrinya yang tidak sepatutnya mudah dibakar oleh rasa cemburu,
أو قد جائت الشيطان يا عئشة؟
=”Wahai Aisyah Apakah engkau telah kedatangan kembali setanmu, apakah engkau telah kedatangan kembali oleh setan، setanmu telah datang kembali, sehingga engkau itu hanyut terbakar oleh rasa cemburu.
Kemudian Aisyah berkata,
يا رسول الله أو معي الشيطان؟
“Apakah aku ini diikuti terus oleh setan?”
Nabi mengatakan, “Bala (بلا), betul, setiap manusia itu ada qorin, ada pendampingnya yang terus mengikutinya yaitu dari setan, yang satu qarin dari kalangan para malaikat.
Aisyah kembali bertanya, "Wahai Rasulullah bagaimana dengan dirimu, apakah engkau juga diikuti oleh qarin dari setan?"
Nabi mengatakan, “Ya, aku pun senantiasa dikintil (diikuti) oleh setan, namun bedanya Allah telah membantu aku sehingga setan yang senantiasa membuntuti aku itu telah masuk islam sehingga.”
فَلا يَأْمُرنِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
Sehingga dia tidak pernah membisikkan aku kecuali dengan kebaikan.
Subhanallah .... cermatilah Nabi ketika mengetahui istrinya mulai terbakar oleh rasa cemburu, hanyut dalam badai cemburu, Nabi tidak murka, Nabi tidak marah. Nabi berusaha menyelamatkan istrinya dari badai cemburu tersebut dengan menjelaskan bahwa cemburu buta itu datangnya dari setan.
Pikiran-pikiran negatif yang terbetik pada pikiran seorang istri atau suami yang senantiasa berpikir negatif atau kadangkala berfikir negatif su’udhon, curiga kepada suami ataupun istri itu sejatinya adalah bisikan setan.
Sehingga sepatutnya kita waspada, kita senantiasa ingat bahwa pikiran negatif yang tendensinya adalah cemburu itu adalah bisikan setan yang seharusnya dilawan.
Pertama, kita memohon perlindungan kepada Allāh, agar tidak hanyut dalam cemburu buta tersebut.
Dan yang kedua, ada satu pelajaran penting bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang tidak cemburu. Siapapun dari kita pasti cemburu, kenapa? Karena cemburu buta itu adalah bisikan setan yang berkepentingan untuk merusak rumah tangga kita.
Karena itu satu-satunya obat untuk mengobati cemburu buta adalah memohon perlindungan kepada Allah
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَـٰنِ نَزْغٌۭ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ
Kalau engkau mulai digoda oleh setan maka obatnya hanya ada satu, memohon perlindungan dari Allah. [QS Fusshilat: 36]
Ini pelajaran penting bagi kita bahwa tidak ada satu orangpun dari kita yang tidak dirundung, tidak terkena badai cemburu buta. Semua kita merasakan cemburu buta namun hanya orang-orang yang senantiasa berlindung kepada Allah dari godaan setan, hanya merekalah yang bisa selamat dari cemburu buta yang mengancam keutuhan rumah tangga kita
Ini sekelumit dari keteladanan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam sebagai seorang suami, yang juga sebagai seorang Uswah Rasul (teladan) kita semua dalam mengarungi mahligai rumah tangga.
Semoga apa yang disampaikan menjadikan keluarga kita betul-betul baiti jannati (Rumah tanggaku adalah Surgaku)
و السلام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•
Halaqah 10: Persaksian Palsu
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Selasa, 18 Rabi'ul Akhir1443 H/23 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 10: Persaksian Palsu
〰〰〰〰〰〰〰
PERSAKSIAN PALSU
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أما بعد
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah (آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas seputar:
▪︎ Persaksian Palsu (شهادة الزور)
⑴ Definisi Az Zūr (الزور)
Dalam bahasa Arab lafadz: الزور memiliki arti:
تحسين الشيء، ووصفه بخلاف صفته
Membaguskan sesuatu dan menyifatinya dengan keadaan yang bertolak belakang dengan aslinya.
Tujuannya agar orang yang mendengarkan akan berpikir bahwa hal tersebut merupakan perkara yang bagus, padahal tidak demikian.
Berdasarkan definisi di atas, maka beberapa amalan-amalan buruk dapat masuk dalam kategori perbuatan الزور di antaranya syirik. Sebab orang yang melakukan perbuatan syirik mengira bahwa apa yang ia kerjakan merupakan amalan yang baik, padahal tidaklah demikian.
Begitu juga nyanyian (الغِنَاء), sebab suara nyanyian bisa menyihir pendengaran, sehingga mereka senang dan suka terhadapnya. Begitu halnya dengan dusta, sebab orang yang mendengar kedustaan atau sebab kedustaan akan menggiring opini orang lain agar menganggap apa yang ia sampaikan adalah kebenaran.
Dari sini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa penulis berpendapat bahwa perbuatan الزور tidak hanya berarti kesaksian palsu akan tetapi segala perbuatan buruk yang bisa memalingkan orang dari kebenaran yang sesungguhnya. Seperti syirik, nyanyian, kedustaan serta berbagai hal yang semisalnya.
Kemudian beliau memberikan alasan, bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan kalimat الزور ini dalam Al Qur'ān dengan cara yang umum, bukan untuk menyifati perbuatan tertentu.
⑵ Ancaman bagi Orang-orang yang Melakukan Perbuatan Az Zūr (الترهيب من الوقوع في شهادة الزور)
Cukup banyak dalīl, baik dari Al Qur'ān maupun dari Hadīts Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam masalah ini, di antaranya ialah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًۭا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًۭا
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allāh biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allāh lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allāh adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."
(QS. An Nissā: 135)
Allāh Subhānahu wa Ta'āla juga berfirman:
وَٱلَّذِينَ هُم بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ قَآئِمُونَ
"Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya."
(QS. Al Ma'ārij: 33)
وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَـٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌۭ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌۭ
"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya,dan Allāh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al Baqarah: 283)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
(QS. Al Isrā: 36)
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَـٰنًۭا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah, "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allāh dengan sesuatu yang Allāh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allāh apa yang tidak kamu ketahui."
(QS. Al A'rāf: 33)
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Al Jauzi rahimahullāh menuturkan bahwa firman Allāh: وَأَن تَقُولُواْ عَلَى الله مَا لاَ تَعْلَمُونَ , merupakan dalil umum seputar haramnya berkata-kata tentang permasalahan agama tanpa ilmu.
Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Bakrah radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
"Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar?"
Para sahabat menjawab:
بلى يارسول الله،
"Tentu, ya Rasūlullāh?"
Kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab:
الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
"Menyekutukan Allāh dan mendurhakai kedua orang tua."
وكان متكئا وجلس
Ketika itu Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersandar kemudian Beliau duduk sembari bersabda:
ألا و قَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
"Berkata dusta dan persaksian palsu."
Beliau terus mengulangi hingga kami bergumam, "Semoga beliau berhenti mengucapkannya."
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dalam hadīts lain, diceritakan bahwa suatu hari, selepas melaksanakan shalat subuh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berdiri seraya bersabda:
عدلت شهادة الزور بالإشراك بالله ﷻ ثم تلى هذه الآية
"Persaksian palsu dosanya menyerupai dosa perbuatan syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla."
Kemudian Beliau membaca firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَـٰنِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ ۞ حُنَفَآءَ لِلَّهِ غَيۡرَ مُشۡرِكِينَ بِهِ
"Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Beribadahlah dengan ikhlas kepada Allāh, tanpa mempersekutukan-Nya."
(QS. Al Hajj: 30-31)
Saat ditanya oleh salah seorang shahabat seputar al kabair (dosa-dosa besar) Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lantas menjawab:
الإشراك بالله، وعقوق الوالدين، وقتل النفس، وشهادة الزور
"Menyekutukan Allāh, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh dan sumpah palsu."
Dalam Shahīhnya, Imam Al Bukhāri rahimahullāh membuat bab khusus seputar شهادة الزور ini. Di antara hadīts yang beliau bawakan ialah:
إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ و يَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ
"Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang berkhianat sehingga mereka tidak bisa dipercaya, mereka suka bersaksi padahal tidak dimintai persaksian."
Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik manusia adalah orang yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang setelahnya kemudian orang-orang setelah mereka.
ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسبِقُ شَهَادَة أحدِهمْ يَمِينه وَيَمِينه شَهَادَته
Kemudian akan datang sebuah kaum yang persaksian seorang dari mereka di dahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya."
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 3651)
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan perbuatan keji, Allāh tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya."
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6057)
Artinya adalah puasa orang tersebut akan sia-sia jika masih tetap melakukan perbuatan yang Allāh larang seperti قَوْلَ الزُّورِ dan شهادة الزور dan sebagainya.
Dari berbagai dalīl tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa, Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengharamkan persaksian palsu karena dapat menyebabkan إبطال الحق , yaitu penyebabkan perkara yang hak menjadi terhalang.
صلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه وسلم
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
________
Selasa, 23 November 2021
Muqoddimah (Bagian Pertama)
Halaqah 09: Dusta yang Diperbolehkan
Minggu, 21 November 2021
Halaqah 08: Dusta Secara Umum
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Jum'at,14 Rabi'ul Akhir1443 H/19 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 08: Dusta Secara Umum
〰〰〰〰〰〰〰
DUSTA SECARA UMUM
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله أما بعد
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.
Pada kesempatan kali ini kita membahas seputar:
▪︎ DUSTA SECARA UMUM (الكذب على وجه العموم)
• Poin Pertama | Hukum Berdusta (حكم الكذب)
Imam An-Nawawi rahimahullāh pernah berkata berbagai dalīl baik dari Al-Qur'an maupun Hadīts Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam hingga ijma' kaum muslim dengan tegas menyatakan bahwa dusta merupakan perbuatan yang diharamkan.
Di mana dusta merupakan perbuatan yang buruk dan keji, cukuplah hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berikut ini sebagai alasan untuk menjauhkan diri dari perbuatan dusta.
Di mana beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
"Ciri atau tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara dusta, jika berjanji ia ingkar dan jika diberi amanat dia kiamat."
(Hadīts shahīh riwayat Al-Bukhāri nomor 6095)
• Poin Kedua | ( التر هيب ) Ancaman Bagi Orang yang Berdusta Secara Umum
Maksud dari kalimat العموم di sini adalah baik kedustaan atas nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla, atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam atau kedustaan-kedustaan yang lain.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya." (QS. Al-Isrā': 36)"
Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
"Sesungguhnya kejujuran akan membimbing kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan senantiasa membimbing ke surga, dan sesungguhnya jika seseorang senantiasa berlaku jujur nantinya ia akan dicatat sebagai seorang yang jujur, dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka dan sesungguhnya jika seseorang selalu berlaku dusta sehingga nantinya ia dicatat sebagai seorang pendusta."
(Hadīts shahīh riwayat Al-Bukhāri nomor 6094)
Kemudian dalam shahīh Imam Al-Bukhāri rahimahullāh pernah membawakan sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh sahabat Hakim bin Hazām radhiyallāhu 'anhu.
Di mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوِرَكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
"Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyār (خِيَار) yaitu pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli selama keduanya belum berpisah.
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melanjutkan, "Jika keduanya jujur dan menampakkan barang dagangannya sebagaimana adanya, maka keduanya diberkahi dalam jual belinya apabila keduanya menyembunyikan dan berdusta maka akan hilang keberkahan jual belinya."
(Hadīts shahīh riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)
Dalam hadīts lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:
ويلٌ للذي يُـحَدِّثُ بالحديث ليضحك به القوم فيكذب، ويلٌ له، ويلٌ له
"Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang lain, hingga kemudian dia rela untuk berbohong celakalah baginya dan celakalah baginya."
(Hadīts hasan riwayat Abu Dawud nomor 4990)
Dalam sebuah hadīts yang panjang yang diriwayatkan oleh sahabat Samurah bin Jundub radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bercerita tentang mimpi yang beliau lihat, di mana beliau melihat ada dua orang lelaki yang kemudian membawa beliau ke الأرض المقدسة yaitu Baitul Maqdis.
Sesampainya di sana kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melihat dua sosok lelaki yang salah satunya memegang besi yang ujungnya bengkok di tangannya. Kemudian besi tersebut dimasukkan ke dalam satu sisi mulut orang yang satunya hingga menembus tengkuknya. Kemudian dilakukan hal yang sama pada sisi mulut yang satunya lagi, lalu dilepas dari mulutnya dan dimasukkan kembali dan begitu seterusnya secara berulang-ulang.
Kemudian di akhir hadīts disebutkan bahwa orang yang diadzab tersebut merupakan seorang pendusta maka ia mendapatkan adzab seperti itu hingga hari kiamat (na'ūdzu billāhi tsuma na'ūdzubillāh).
Ayyuhal ikhwah rahimani wa rahimakumullāh
• Poin Ketiga | Seputar Dusta Tentang Mimpi yang Dilihat
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ
"Barangsiapa mengaku-ngaku melihat sebuah mimpi padahal ia tidak melihatnya, niscaya ia akan dipaksa untuk menyatukan dua biji gandum dan ia tidak akan pernah bisa melakukannya."
وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنَيْهِ الْآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Dan barangsiapa yang mencuri dengar pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukainya atau telah menyingkir untuk menghindarinya, maka telinganya akan dialiri cairan tembaga pada hari kiamat."
وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
"Dan barangsiapa yang membuat sebuah gambar dia akan disiksa dan dipaksa untuk menghidupkan gambar tersebut, dan dia tidak akan pernah mampu untuk melakukannya."
Demikian yang bisa kita baca pada kesempatan kali ini.
صلى الله على نبينا محمّد و على آله و صحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
________
Kamis, 18 November 2021
Halaqah 07: Berkata Atas Nama Allāh Tanpa Ilmu
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Kamis,13 Rabi'ul Akhir1443 H/18 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 07: Berkata Atas Nama Allāh Tanpa Ilmu
〰〰〰〰〰〰〰
BERKATA ATAS NAMA ALLĀH TANPA ILMU
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أما بعد
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.
Kali ini kita memasuki bab baru dari risalah ini yaitu:
▪︎ BERKATA ATAS NAMA ALLĀH TANPA ILMU (القول على الله بغير علم)
Bab ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama ialah seputar berdusta atas nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan Rasul-Nya shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Penulis membawakan pembahasan yang pertama yaitu:
⑴ Definisi Dusta
Imam An Nawawi rahimahullāh pernah berkata, menurut madzhab Ahlus Sunnah definisi dusta adalah mengabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Baik disengaja ataupun tidak. Akan tetapi jika tidak disengaja maka ia tidaklah berdosa.
⑵ Ancaman terhadap seseorang berdusta atas nama Allāh dan Rasul-Nya shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Ikhwani Fīdīn rahimani wa rahimakumullāh.
Tidak diragukan lagi berdusta atas nama Allāh dan Rasul-Nya merupakan perkara yang lebih buruk serta lebih besar dosanya dari dusta yang lainnya. Terdapat banyak dalīl dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبٗا لِّيُضِلَّ ٱلنَّاسَ بِغَيۡرِ عِلۡمٍۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
"Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allāh untuk menyesatkan orang-orang tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allāh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim."
(QS. Al An'ām: 144)
Dalam ayat yang lain, Allāh berfirman:
وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَٰتِنَا وَٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ وَهُم بِرَبِّهِمۡ يَعۡدِلُونَ
"Dan jangan engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, dan mereka mempersekutukan Tuhan."
(QS. Al An'ām:150)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan ancaman bagi mereka yang berani berdusta atas nama Allāh Ta'āla dan Rasul-Nya shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Dalam sebuah hadīts shahīh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
لاَ تَكْذِبُوا عَلَىَّ، فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
"Janganlah kalian berdusta atas namaku, dan barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaknya dia bersiap untuk memasuki neraka."
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 106)
Suatu ketika shahabat Az Zubair radhiyallāhu 'anhu pernah ditanya oleh putra beliau, "Mengapa aku jarang melihatmu menceritakan hadīts-hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, tidak seperti orang lain."
Kemudian beliau menjawab, "Sejatinya aku senantiasa menyertai Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam akan tetapi aku pernah mendengar Beliau bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya ia persiapkan tempat duduknya di neraka."
(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah nomor 37)
Hadīts dengan makna yang serupa juga banyak diriwayatkan oleh shahabat lain di antaranya oleh shahabat Anas bin Mālik, Abu Hurairah dan Salamah bin Al Aqwa radhiyallāhu 'anhum.
Dalam hadīts yang lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga pernah bersabda:
"Sesungguhnya di antara kebohongan yang besar adalah bila seseorang mengaku sebagai anak dari orang yang bukan bapaknya atau seorang mengaku melihat sesuatu dalam mimpi padahal tidak bermimpi apapun atau seseorang mengatakan sesuatu atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apa yang tidak disabdakan."
Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam juga pernah bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
"Cukuplah seseorang dianggap berbohong apabila dia menceritakan segala sesuatu yang ia dengar."
(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 5)
Imam Mālik rahimahullāh pernah menuturkan:
"Ketahuilah bahwa seseorang tidak akan selamat jika ia menceritakan segala sesuatu yang ia dengar dan ia juga tidak akan pernah menjadi seorang pemimpin."
Ungkapan serupa pernah disampaikan oleh Abdurrahman bin Mahdi rahimahullāh.
⑶ Perbedaan berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan berdusta pada selainnya.
Setidaknya ada lima poin yang dijelaskan oleh pengarang rahimahullāh.
• Poin Pertama | Berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam merupakan perbuatan yang jauh diharamkan dan merupakan tindakan yang sangat buruk akan tetapi pelakunya tidak sampai pada derajat kafir kecuali dia menghalalkan hal tersebut, ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
• Poin Kedua | Imam Abu Muhammad Al Juwaini rahimahullāh berpendapat bahwa siapa saja yang berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan sengaja maka ia telah kufur.
Alasannya ialah, jika seseorang dengan sengaja berdusta dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menghalalkan suatu perbuatan padahal sejatinya hal tersebut diharamkan maka secara tidak langsung dia telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Di mana hal tersebut merupakan sebuah kekufuran, akan tetapi pendapat beliau ini dibantah oleh para ulama.
• Poin Ketiga | Ibnu Hajar rahimahullāh pernah menuturkan dosa berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam amatlah besar, sedangkan dusta selainnya kecil. Sehingga dalam hal ini berbeda meskipun keduanya terancam dengan api neraka.
Namun keadaannya tidaklah sama, bisa jadi keduanya berada dalam neraka yang sama. Akan tetapi orang yang berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam akan tinggal lebih lama dari pelaku dusta biasa.
Terlebih lagi dalam hadīts sebelumnya
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menggunakan kalimat: فليتبوأ , yang mana mengisyaratkan makna tinggal dalam jangka waktu yang cukup panjang, bahkan secara sepintas menunjukkan orang tersebut akan tinggal dalam neraka selamanya.
Sebab Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak menyebutkan tempat tinggal lain dalam hadīts tersebut, hanya saja berbagai dalīl lain yang tak terbantahkan menunjukkan bahwa orang yang kekal di dalam neraka hanyalah orang yang kafir.
Ikhawani Fīdin rahimani wa rahimakumullāh.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ
"Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain."
(Hadīts shahīh riwayat Muslim)
• Poin Keempat | Barangsiapa yang berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam maka ia telah fasik dan secara otomatis seluruh hadīts yang ia riwayatkan akan tertolak dan tidak akan bisa dijadikan sebagai hujjah.
• Poin Kelima | Berdusta atas nama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sejatinya merupakan bentuk kedustaan atas nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebab Allāh Subhānahu wa Ta'āla pernah berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ۞ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
"Dan tidaklah dia (Muhammad) mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa nafsu. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya."
(QS. An Najm: 3-4)
Oleh karenanya siapapun yang berani berdusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam maka ia terancam dengan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
قُلۡ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allāh niscaya dia tidak akan beruntung."
(QS. Yūnus: 69)
صلى اللّٰه على نبينا محمّد و على آله وصحبه و سلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
________
Halaqah 06: Namimah (النميمة)
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Rabu,12 Rabi'ul Akhir1443 H/17 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 06: Namimah (النميمة)
〰〰〰〰〰〰〰
NAMIMAH (النميمة)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله أمابعد
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.
▪︎ NAMIMAH (النميمة)
Kali ini kita akan memasuki pembahasan seputar namimah.
Definisi dari namimah pernah disampaikan oleh Imam Al Ghazali rahimahullāh: النميمة في الأصل (namimah pada dasarnya adalah) menceritakan perkataan seseorang kepada orang lain, di mana hal tersebut merupakan sesuatu yang dibenci oleh orang yang mengatakan atau orang yang mendengarnya (baik merupakan aib atau bukan).
Seperti contohnya: Ada seorang yang biasa menyembunyikan hartanya lalu kita ungkapkan kepada orang lain, maka hal ini termasuk namimah.
Imam Nawawi rahimahullāh dalam Syarah Shahīh Muslim pernah menjelaskan bahwa definisi namimah ini adalah menceritakan ucapan seseorang pada orang lain untuk tujuan memicu kerusakan di antara mereka.
Dalam Shahīhnya, Imam Al Bukhāri membuat bab yang berjudul: ما يكره من النميمة (namimah yang terlarang). Menanggapi hal tersebut Imam Hajar rahimahullāh kemudian mengambil kesimpulan bahwa Imam Al Bukhāri memilih pendapat bolehnya melakukan namimah pada orang kafir sebagaimana dibolehkannya tajassus atau mencari-cari kelemahan di negeri orang kafir.
▪︎ HUKUM NAMIMAH
Namimah merupakan perbuatan yang diharamkan berdasarkan ijma' kaum muslimin sebagaimana dijelaskan di dalam Al Qur'an dan Hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
▪︎ ANCAMAN BAGI PELAKU NAMIMAH
Allāh Ta'āla berfirman:
هَمَّازٖ مَّشَّآءِۭ بِنَمِيمٖ ۞ مَّنَّاعٖ لِّلۡخَيۡرِ مُعۡتَدٍ أَثِيمٍ
"Suka mencela dan ke sana ke mari menyebarkan namimah. Menghalang-halangi perbuatan baik, suka melampaui batas dan gemar berbuat dosa." :-)
(QS. Al Qalam: 11-12)
وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ
"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela."
(QS. Al Humazah: 1)
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
"Tidak akan masuk surga pelaku adu domba."
(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 105)
Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh: قَتَّاتٌ. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan antara: نَمَّامٌ dan قَتَّاتٌ ialah:
√ Nammām (نَمَّامٌ) merupakan orang yang menyaksikan langsung kejadian yang ia ceritakan.
√ Qattāt (قَتَّاتٌ) hanya mendengar dari orang.
Ibnu Hajar rahimahullāh kemudian menjelaskan maksud dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: - لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ - (tidak akan masuk surga) adalah ia tidak akan langsung masuk surga.
Makna ini juga terkandung dalam hadīts-hadīts yang serupa dan hal ini merupakan madzhab Ahlus Sunnah wal Jamā'ah di mana mereka tidaklah mengkafirkan kaum muslimin karena perbuatan maksiat yang mereka kerjakan kecuali jika terdapat dalīl yang menjelaskannya secara khusus.
Ibnu Abdil Barr rahimahullāh pernah menuturkan bahwa pelaku namimah mampu membuat kerusakan dalam waktu singkat yang bahkan tidak mampu dilakukan oleh penyihir dalam kurun waktu setahun.
Dalam sebuah hadīts disebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mendengar dua orang yang disiksa dalam kuburnya. Kemudian Beliau menjelaskan bahwa orang pertama diadzab karena tidak menjaga kencingnya sedangkan orang kedua diadzab karena gemar mengadu-domba.
Kemudian Beliau memerintahkan untuk diambilkan sebatang dahan kurma yang masih basah lalu beliau belah menjadi dua dan Beliau tancapkan di atas kuburan keduanya. Kemudian Beliau bersabda, "Mudah-mudahan siksanya diringankan selama dahan ini belum mengiringi."
Ayyuhal ikhwah rahimani wa rahimakumullāh.
▪︎ SIKAP YANG TEPAT JIKA ADA ORANG YANG DATANG UNTUK TUJUAN MENGADU-DOMBA
Imam An Nawawi rahimahullāh menuturkan jika kita didatangi oleh orang yang berniat untuk mengadu domba antara kita dengan orang lain, maka hendaknya kita melakukan enam hal.
⑴ Tidak mempercayainya sebab namimah atau mengadu domba adalah orang fasik.
⑵ Menasihati dan mencegah orang tersebut dari perbuatan namimah.
⑶ Membencinya karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
⑷ Tidak berprasangka buruk terhadap orang yang diceritakan.
⑸ Tidak berusaha mencari-cari kesalahan orang yang diceritakan.
⑹ Tidak membalas dengan menceritakan namimah orang tersebut seperti dengan menceritakan perbuatan namimah orang tersebut kepada orang lain.
▪︎ MANUSIA BERMUKA DUA (ذو الوجهين)
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
إنّ شَرّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ
"Sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah seorang yang bermuka dua."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Di mana ia mendatangi sekelompok orang dengan satu sikap dan datang kepada orang lain dengan sikap yang berbeda.
Ibnu Hajar rahimahullāh menjelaskan bahwa sikap seperti ini termasuk dalam kategori namimah dan alasan para pelakunya mendapat gelar manusia yang terburuk adalah karena sikap tersebut menyerupai perangai orang munafik yang penuh dengan kedustaan.
Di mana ia berakting dihadapan suatu kaum seolah mendukung mereka dan memusuhi lawannya dan ini merupakan perbuatan nifak (penuh kedustaan dan tipuan).
Adapun jika seseorang melakukannya dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan kedua belah pihak yang sedang berselisih, dengan cara menceritakan kebaikan pihak pertama kepada pihak kedua dan menutupi kejelekannya agar mereka bisa memaklumi, maka hal ini merupakan sikap yang terpuji.
Dalam hadīts lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda, "Barangsiapa yang memiliki dua wajah di dunia, niscaya pada hari kiamat ia akan memiliki dua lidah dari api neraka."
▪︎ ALASAN SESEORANG BERBUAT NAMIMAH
Tidak diragukan lagi alasan yang mendorong seseorang untuk berbuat ghibah dan mendorong seseorang berbuat namimah, di samping itu beberapa alasan lain juga bisa menjadi sebab munculnya namimah di antaranya adalah:
√ Perasaan benci kepada seseorang.
√ Keinginan untuk dekat dengan seseorang.
√ Ambisi untuk menciptakan kerusuhan dan fitnah hingga memecah-belah masyarakat dan menanamkan amarah di hati mereka.
▪︎ OBAT PENYAKIT NAMIMAH (علاج الغيبة)
Obat untuk penyakit ini sama persis dengan obat untuk penyakit ghibah yang pernah kita bahas sebelumnya.
▪︎ NAMIMAH YANG DIBOLEHKAN
Imam An Nawawi rahimahullāh pernah menuturkan jika memang darurat dan dibutuhkan maka namimah diperbolehkan dalam keadaan tertentu.
Seperti jika ada seseorang yang ingin membahayakan dirinya, harta atau keluarganya. Melaporkan seorang yang gemar berbuat kerusakan kepada pihak yang berwajib di mana sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk mengatasinya. Maka dalam keadaan seperti ini namimah diperbolehkan, bahkan terkadang menjadi wajib atau pun sunnah sesuai dengan kondisi yang ada.
Dalam Shahīhnya, Imam Al Bukhāri rahimahullāh membawakan sebuah hadīts yang menceritakan saat Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu melapor kepada Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam perihal seseorang yang merasa bahwa pembagian harta rampasan perang tidaklah adil.
Maka saat itu Beliau bersabda, "Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla merahmati Nabi Musa, sungguh ia telah mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dari ini namun ia mampu untuk bersabar."
Adapun namimah yang terlarang adalah jika bertujuan menimbulkan kerusakan, adapun jika bertujuan baik melakukannya dengan penuh kejujuran serta tidak menyakiti orang lain maka hal tersebut tidaklah terlarang.
Namun kebanyakan orang tidak mampu membedakan antara dua hal ini, maka jalan yang paling selamat ialah menjauhi namimah meskipun dalam keadaan yang mungkin kita diperbolehkan untuk melakukannya.
صلى اللّٰه على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم
________
Rabu, 17 November 2021
Halaqah 05: Ghibah yang Diperbolehkan
🌍 BimbinganIslam.Com
📆 Selasa,11Rabi'ul Akhir1443 H/16 November 2021 M
👤 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd, Lc.
📗 Kitāb Āfātul Lisān Fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya
Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
🔊 Halaqah 05: Ghibah yang Diperbolehkan
〰〰〰〰〰〰〰
GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau'il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta'āla.
BAB 9: GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN
Pembahasan ini sekaligus penutup dari pembahasan ghibah yaitu: ما يباح من الغيبة (ghibah yang diperbolehkan).
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
"Allāh tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Dan Allāh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(QS. An Nissā': 148)
Diceritakan dalam sebuah hadīts yang shahīh bahwa Ummu Mua'wiyyah radhiyallāhu 'anhā pernah bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, ia mengadukan perilaku suaminya.
Ummu Mu'awiyyah mengatakan:
"Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang pelit, apakah aku berdosa jika aku mengambil sebagian hartanya secara sembunyi-sembunyi untuk mememenuhi kebutuhanku dan juga anakku?"
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lantas menjawab, "Ambillah sesuai kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang ma'ruf."
Kemudian penulis juga membawakan kisah Fāthimah binti Qais yang dilamar oleh dua orang shahabat setelah diceraikan oleh suaminya yang terdahulu. Kedua laki-laki tersebut adalah Abu Jahm dan Mua'wiyyah radhiyallāhu 'anhumā.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lantas menjelaskan keadaan kedua pria tersebut.
Beliau mengatakan:
أَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ
"Adapun Abu Jahm, maka dia tidak meletakkan tongkatnya dari puncaknya."
Terdapat dua tafsiran ulama untuk kiasan Rasūlullāh ini.
⑴ Abu Jahm merupakan sosok pria yang gemar bersafar alias jarang di rumah.
⑵ Abu Jahm sering memukul wanita.
وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ
"Sedangkan Mua'wiyyah adalah orang yang miskin tidak mempunyai harta."
Lalu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menawarkan Fāthimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallāhu 'anhu. Pernikahan pun berlangsung dan Allāh Ta'āla melimpahkan keberkahan dalam rumah tangganya.
Suatu ketika seorang lelaki meminta izin untuk menemui Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Sebelum lelaki tersebut masuk, Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata kepada Aisyah radhiyallāhu 'anhā:
بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ
"Ia adalah seburuk-buruk lelaki dari kaumnya."
Kalimat tersebut merupakan gambaran dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang betapa buruknya akhlak lelaki yang hendak menemuinya saat itu.
Namun saat lelaki tersebut masuk, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam justru bertutur kata lemah-lembut terhadapnya. Selepas kepergiannya 'Aisyah radhiyallāhu 'anhā dengan penuh keheranan bertanya, "Mengapa engkau berlemah-lembut kepadanya, wahai Rasūlullāh? padahal sebelumnya engkau telah menceritakan betapa buruk akhlak orang tersebut?"
Kemudian Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ، أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ، اتِّقَاءَ فُحْشِهِ.
"Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan oleh orang lain karena takut akan kekejiannya."
Dalam Shahīh Al Bukhāri terdapat sebuah bab seputar bolehnya menyebutkan ciri khas fisik seseorang, seperti tingginya, kemudian dia pendek (misalkan) selama bukan bertujuan untuk mencela. Beliau juga mencontohkan dengan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang menyebut seseorang dengan sebutan: ذواليدين , karena orang tersebut memiliki tangan yang panjang.
Imam Nawawi rahimahullāh pernah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam beberapa keadaan, di antaranya:
⑴ Mengadukan tindak kezhaliman kepada penguasa, hakim atau pihak yang berwenang seperti dengan mengatakan, "Si Fulan telah berbuat zhalim kepadaku."
⑵ Meminta tolong dalam menghilangkan suatu perbuatan mungkar dan membuat pelakunya kembali kepada jalan yang benar.
Semisal meminta kepada orang yang mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan, "Si Fulan telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar bisa lepas dari tindakannya tersebut."
⑶ Dalam rangka meminta fatwa kepada seorang ulama, seperti dengan mengatakan, "Si Fulan atau ayahku (misalnya) telah berbuat zhalim kepadaku, bagaimana caranya agar aku bisa selamat dari perbuatannya?"
Akan tetapi para ulama menjelaskan dalam keadaan seperti ini (meminta fatwa) akan jauh lebih baik jika ia tidak menyebutkan identitas orang tersebut. Semisal dengan mengatakan, "Ada seorang ayah yang berbuat zhalim kepada anaknya, bagaimana hukumnya?" Dan semisal.
Namun jika tetap menyebutkan identitas Si Pelaku dalam hal ini tidaklah mengapa, sebagaimana kisah Ummu Mua'wiyyah saat mengadukan perbuatan sang suaminya (Abu Sufyan) kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
⑷ Memperingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan.
Dalam hal ini terdapat beberapa contoh.
Misalnya:
√ Waktu memperingatkan kejelekan hapalan suatu rawi dan para saksi dalam sebuah perkara. Memperingatkan kejelekannya, hal ini justru merupakan kewajiban demi melindungi syariat Islām.
√ Menyebutkan aib seseorang sebelum mengambil keputusan dalam musyawarah. Di antaranya juga jika kita melihat seseorang membeli suatu barang yang cacat, maka kita sampaikan kepada Si Pembeli dalam rangka semata-mata untuk menasehati.
√ Saat kita melihat seorang penuntut ilmu yang sering datang belajar kepada orang yang fasik ataupun mubtadi' (ahli bid'ah) dan kita takut ia akan mendapat pengaruh buruk dari orang tersebut. Maka kita menjelaskan keburukan orang yang ia datangi tadi dalam rangka menasihati Si Penuntut Ilmu.
√ Melaporkan seorang pemegang jabatan kepada atasannya lantaran orang yang dilaporkan sejatinya tidak memiliki kapabilitas untuk memegang jabatan tersebut atau dia merupakan seorang yang fasik.
Kemudian keadaan ghibah yang dibolehkan selanjutnya adalah:
⑸ Membicarakan orang yang secara terang-terangan berbuat dosa, maka kita boleh menyebutkan perbuatan maksiat yang dia kerjakan secara terang-terangan, namun tidak diperbolehkan mengghibahinya dalam perkara yang lain.
⑹ Menyebut orang lain dengan sebutan yang sudah ma'ruf dan bukan dengan maksud mencela. Seperti: الأعمى , sebutan seorang yang buta, Si Pincang, Si Pendek dan sebagainya. Namun akan lebih baik jika hal seperti ini ditinggalkan jika memungkinkan.
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullāh pernah menuturkan saat mensyarah pembahasan dalam Shahīh Al Bukhāri seputar bolehnya menggunjing pelaku maksiat yang terang-terangan (melakukan maksiat secara terang-terangan).
Beliau berkata, "Bisa kita simpulkan bahwa menggunjing orang yang terang-terangan dalam melakukan kemaksiatan tidak termasuk dalam ghibah yang terlarang."
Para ulama pernah berkata bahwa ghibah diperbolehkan pada setiap keadaan yang memiliki tujuan baik secara syariat.
Seperti:
Mengadukan kezhaliman, meminta tolong untuk menghilangkan kemungkaran, meminta fatwa, termasuk di dalamnya menjelaskan keadaan para perawi hadīts, kemudian menjelaskan keadaan para saksi dalam sebuah persaksian, melaporkan pemilik jabatan kepada atasannya, kemudian juga di tengah musyawarah (misalnya) musyawarah pernikahan. Begitu juga saat melihat penuntut ilmu yang berguru kepada ahli bid'ah.
Sebagian ulama kemudian meringkas enam keadaan diperbolehkan ghibah dalam sebuah bait.
القدح ليس بغيبة في ستَّةٍ متظلّمٍ، ومعرّفٍ، ومحذّرِ ومجاهرٍ فسقاً، ومستفتٍ ومن طلب الإعانةَ في إزالة منكرِ
________