Selasa, 31 Agustus 2021

Al-MUSANNA ‎المثنى

[Al-MUSANNA المثنى]

Salam semua 🙆🏻‍♀️

👨‍🏫 Anda pasti pernah dengar dan cikgu nak beritahu lagi sekali bahawa dalam bahasa arab ini, kata nama atau isim (اسم) dibahagikan kepada tiga (3) iaitu:

a) Mufrad مفرد 
b) Musanna مثنى 
c) Jamak جمع

Kali ini kita nak fokuskan kepada Al-MUSANNA المثنى. 

☘️ Al-MUSANNA المثنى ialah kata nama yang menunjukkan bilangan dua (2) dengan menambahkan Alif dan Nun (ان) atau Ya dan Nun (يـن) di akhir kalimah seperti:

معلم + ان/ يـن = معلمان/ معلمين 👦👦
معلمة + ان / ين = معلمتان / معلمتين 🧕🧕

🤔 Baiklah, bagaimana nak ketahui samada perlu menambahkan Alif dan Nun (ان) atau Ya dan Nun (يـن) di akhir kalimah seperti contoh di atas? 

Soalan yang bagus!

👨‍🏫 Bagi kata nama atau isim, keadaan-keadaan i'rab atau disebut sebagai في حالة الإعراب terdiri daripada 3 iaitu:

☘️ Ar-rafie الرفع: Di akhiri dengan Alif dan Nun seperti: 

معلم + ان = معلمان👦👦
معلمة + ان = معلمتان🧕🧕

☘️ Manakala An-nasbi النصب dan Al-jarri الجر: Di akhiri dengan Ya dan Nun seperti:

معلم + يـن = معلمين 👦👦
معلمة + ين = معلمتين 🧕🧕

☘️ Dan untuk tentukan keadaan-keadaan yang disebutkan, perlu mengetahui hukum-hukum sesuatu kalimah pada sesuatu ayat supaya dapat menentukan keadaannya.

Contoh: 
الدهر يومان
Masa itu terdiri dari DUA HARI

Kalimah يومان hukumnya adalah خبر, dan خبر dalam keadaan Ar-rafie. Jadi ditulis يومان bukan يومين.

😅 Fuhhhhh!

Nota:

Kadang-kadang kita dapati pada kalimah berbentuk مثنى ini, kita buangkan huruf ن seperti: 

معلمتا العربية
Dua orang guru perempuan Bahasa Arab

Kerana معلمتا disini menjadi Mudhof (مضاف).

Semoga bermanfaat 🙆🏻‍♀️

HUKUM MUSAQAH, MUZARA'AH DAN MUKHABARAH

Seri Fawaid Fiqih Syafi'iyyah #37

HUKUM MUSAQAH, MUZARA'AH DAN MUKHABARAH

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara Hafizhahullah

Musaqah adalah akad muamalah antara pemilik lahan dengan pekerja, di mana pemilik lahan menyerahkan pemeliharaan pohon tertentu di lahan miliknya tersebut kepada pekerja, untuk diairi dan lain-lain, dengan bagi hasil dari buah yang dihasilkan, dengan redaksi tertentu.

Contohnya, Abdul Karim berkata kepada Ahmad, "Saya musaqah-kan pohon kurma ini, selama satu tahun, untuk anda pelihara, dengan bagi hasil setengah (atau sepertiga, seperempat, dan seterusnya) dari buah yang dihasilkan." Kemudian Ahmad berkata, "Saya terima."

Dalil bolehnya musaqah adalah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang membuka (menaklukkan) tanah Khaibar, kemudian mempekerjakan penduduk Yahudi di sana untuk mengelola pepohonan di sana, dengan bagi hasil setengah dari buah dan tanaman yang dihasilkan. Dan beliau mengutus 'Abdullah bin Rawahah radhiyallahu 'anhu setiap tahun, untuk mengambil jatah setengah buah-buahan dan tanaman tersebut.

Akad musaqah sah berdasarkan ijma', tidak ada khilaf di kalangan ulama. Perbedaan hanya pada pohon yang boleh diakadkan musaqah, apakah seluruh pohon, atau jenis pohon tertentu saja.

Syafi'iyyah membatasi akad musaqah hanya pada pohon kurma dan anggur saja. Hal ini karena yang disebutkan dalam nash, hanya pohon kurma saja. Pohon anggur diqiyaskan dengan pohon kurma, karena sama-sama diwajibkan zakat padanya dan bisa ditaksir atau diperkirakan kadarnya. Dan itu tidak berlaku pada pohon lainnya. Juga karena pohon lainnya, umumnya bisa tumbuh tanpa pemeliharaan khusus.

Sedangkan muzara'ah, adalah akad antara pemilik lahan dan pekerja, yang pemilik lahan menyerahkan lahan miliknya kepada pekerja untuk digarap dan ditanami tanaman, di mana bibit tanaman berasal dari pemilik lahan, dan tanaman yang dihasilkan dibagi bersama (bagi hasil) antara pemilik lahan dan pekerja.

Mukhabarah mirip dengan muzara'ah. Bedanya, dalam akad mukhabarah, bibit tanaman berasal dari pekerja, bukan dari pemilik lahan.

Akad muzara'ah dan mukhabarah ini tidak sah menurut pendapat yang masyhur dan mu'tamad di kalangan Syafi'iyyah. Sedangkan menurut Malikiyyah dan madzhab qadim Imam Asy-Syafi'i, keduanya sah. Dan keabsahan kedua akad ini, yang dipilih oleh Imam An-Nawawi.

Untuk muzara'ah, jika ia menjadi akad mandiri, tidak sah, sedangkan jika ia mengikuti akad musaqah, sah. Adapun mukhabarah, menurut madzhab jadid, tidak sah, baik secara mandiri maupun mengikuti musaqah.

Syarat kebolehan muzara'ah yang mengikuti musaqah, ada empat, yaitu:

1. Lafazh musaqah lebih dulu diucapkan dalam akad, atau minimal berbarengan dengan muzara'ah, tidak boleh lebih akhir. Contoh akadnya: "Saya musaqah-kan pohon kurma ini dengan bagi hasil setengah dari buahnya dan saya muzara'ah-kan lahan ini dengan bagi hasil setengah dari tanaman yang dihasilkan."

2. Akad keduanya disatukan. Jika akad musaqah tersendiri, dan akad muzara'ah tersendiri, tidak boleh.

3. Pekerja yang melaksanakan musaqah dan muzara'ah itu satu, tidak boleh untuk musaqah satu pekerja, dan untuk muzara'ah pekerja yang lain.

4. Tidak memungkinkan membuat akad musaqah saja, tanpa muzara'ah. Jika bisa dan mudah, mengadakan akad musaqah saja, maka tidak boleh disertakan dengan akad muzara'ah.

Wallahu a'lam.

Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-Buyu' Wa Al-Faraidh, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 130-135, Penerbit Dar Al-Mirats An-Nabawi, Hadramaut, Yaman.

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=340112251166450&id=100055030325309

🌾🎋🌾🎋

_Empat Tingkatan Memahami Takdir ~ Tingkatan Yang Pertama_

🌐 *WAG Dirosah Islamiyah*
Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad

▪🗓 _SELASA_
| 22 Muharram 1443 H
| 31 Agustus 2021 M

🎙 *Oleh: Ustadz DR. Abdullah Roy M.A. حفظه الله تعالى*
📕 _Rukun Iman Keenam - Beriman Kepada Takdir Allāh__Rukun Iman Keenam - Beriman Kepada Takdir Allāh_

🔈 *Audio ke-184*
📖 _Empat Tingkatan Memahami Takdir ~ Tingkatan Yang Pertama_
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~


بسم الله الرحمن الرحيم 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحاب ومن ولاه

Anggota grup WhatsApp Dirosah Islamiyah yang semoga dimuliakan oleh Allāh. Kita lanjutkan pembahasan kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Yang ditulis oleh Fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullahu. 

Masih kita pada pembahasan beriman kepada takdir. Beliau mengatakan (Rahimahullahu Ta'ala),

وللقدر أربع مراتب

Dan qadar ini memiliki 4 tingkatan. Dengannya In syaa Allāh seorang hamba bisa mewujudkan iman dia dengan takdir.

المرتبة الأولى

Kata Beliau, martabat yang pertama. Tingkatan yang pertama di antara 4 tingkatan di dalam masalah takdir.

Sekali lagi, kalau kita bisa mewujudkan 4 tingkatan ini maka kita sudah dianggap beriman dengan takdir. 

Jadi yang pertama adalah,

العلم

Apa yang dimaksud tingkatan yang pertama adalah العلم ?

فنؤمن بأن الله تعالى بكل شيء علیم

Maka kita beriman bahwasanya Allāh Ta'ala Maha Mengetahui segala sesuatu. 

Betapa banyak di dalam Al-Qur'an Allāh mengabarkan bahwasanya Dia mengetahui segala sesuatu. Di antaranya adalah Firman Allāh Azza wa Jalla,

وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

“Dan Allāh Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al-Hujurat: 16]

بِكُلِّ شَىْءٍ

Dan segala sesuatu di sini umum. Baik yang ada di langit maupun apa yang ada di bumi, yang kecil maupun yang besar, yang telah lalu maupun yang sekarang, maupun yang akan datang. Itu semuanya masuk dalam kalimat بِكُلِّ شَىْءٍ (dengan segala sesuatu). Disembunyikan oleh manusia ataupun dinampakkan maka Allāh mengetahuinya. 

Apa yang terjadi di langit berupa gerakan-gerakan planet, gerakan-gerakan meteor, dan yang semisalnya. Dan apa yang dilakukan oleh para malaikat di sana dan lain-lain, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengetahuinya. Demikian pula apa yang terjadi di bumi. Tidak ada sesuatu yang samar bagi Allāh.

 علم ما كان وما يكون وكيف يكون بعلمه الأزلي الأبدي

Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang mengetahui apa yang telah terjadi. 

Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al-Qur'an menceritakan tentang kisah-kisah yang sudah terjadi. Kisah Nabi Adam, dan juga para malaikat sebelum Nabi Adam 'Alaihisalam diturunkan oleh Allāh. Diceritakan oleh Allāh Subhanahu Wa Ta'ala sangat terperinci. Kisah tentang para Nabi: Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf. Dan juga yang lain Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebutkan secara terperinci.

علم ما كان

“Allāh mengetahui apa yang sudah terjadi.”

Oleh karena itu kalau seseorang ingin mengetahui apa yang pernah terjadi sebelumnya berupa sejarah para Nabi dan juga para Rasul kembali kepada Al-Qur'an, kembali kepada As-Sunnah. Karena yang bisa menceritakan dengan benar dan baik adalah Allāh Subhanahu Wa Ta'ala. Karena Dialah yang mengetahui apa yang dahulu pernah terjadi.

وما يكون

“Dan Allāh Subhanahu Wa Ta'ala mengetahui apa yang akan terjadi.”

Sekarang belum terjadi. Tapi apa yang akan terjadi lusa, besok, Minggu depan, bulan depan, tahun depan dan seterusnya. Maka Allāh Subhanahu Wa Ta'ala Maha Mengetahuinya. Maha Mengetahui perkara-perkara tersebut sebelum terjadinya. Ini menunjukkan tentang luasnya ilmu Allāh.

وكيف يكون بعلمه الأزلي الأبدي

Dan apa yang terjadi dan bagaimana dia terjadi, Allāh Subhanahu Wa Ta'ala Maha Mengetahuinya. Dengan ilmu-Nya yang sejak dari dulu الأبدي (yang terus akan selamanya) Allāh Subhanahu Wa Ta'ala bersifat dengan sifat tersebut.

Kemudian,

فلا يتجدد له علم بعد جهل 

Maka tidak akan memperbaharui. Maksudnya adalah, ilmu Allāh itu bukan sesuatu yang baru setelah Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak tahu. Jadi Allāh tahu bukan karena Allāh setelah yang sebelumnya tidak tahu. Ilmu Allāh adalah Azali, dan disebutkan sebelumnya, 

وكيف يكون بعلمه الأزلي الأبدي

Dan bagaimana itu terjadi? Dengan ilmu Allāh yang Azali. Maksudnya di sini adalah,

فلا يتجدد له علم بعد جهل 

Karena Dia sejak dahulu maka ilmu Allāh itu bukan sesuatu yang baru, setelah sebelumnya Allāh tidak tahu. 

Ini di antara perbedaan antara ilmu kita dengan ilmu Allāh. Kalau ilmu Allāh tidak didahului dengan kebodohan. Adapun ilmu manusia maka diawali yang sebelumnya dengan kebodohan. Dalam keadaan dia tidak tahu, belajar, kemudian baru tahu dan hilang kebodohannya. Itu keadaan kita.

 ولا يلحقه نسیان بعد علم

Dan Allāh Subhanahu Wa Ta'ala, ilmunya Allāh itu tidak disertai dan tidak diiringi oleh lupa. بعد علم (setelah Dia mengetahuinya). 

Jadi tidak ada lupa bagi Allāh Subhanahu Wa Ta'ala. Dan ini menunjukkan tentang kesempurnaan ilmu Allāh. Jadi ilmu Allāh tidak didahului oleh kejahilan dan tidak diiringi oleh kelupaan. 

Adapun manusia maka mereka penuh dengan kekurangan. Orang yang 'alim di antara mereka pasti didahului oleh kebodohan. Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan taufik, dia mau belajar. Akhirnya dia mendapatkan ilmu. 

Dan yang kedua, bahwasanya ilmu Allāh Subhānahu wa Ta’āla ini adalah tidak diiringi oleh rasa lupa. Menunjukkan tentang kesempurnaan ilmu Allāh Azza wa Jalla.

Maka yang demikian harus kita yakini bahwasanya Allāh Subhanahu Wa Ta'ala mengetahui segala sesuatu. Apa yang akan terjadi di masa yang akan datang Allāh Subhānahu wa Ta’āla Maha Tahu. Sebelum terjadinya sesuatu tersebut. Musibah yang menimpa kita Allāh sudah tahu bahwasanya musibah itu akan terjadi. Tidak ada yang luput dari ilmu Allāh Azza Wa Jalla. 

Maka jangan seperti yang dilakukan dan diyakini oleh orang-orang Qadariyah yang meyakini bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla itu tahu setelah terjadinya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan ilmu Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah ilmu yang sempurna. Tidak didahului oleh kebodohan dan tidak diiringi oleh kelupaan.

Ini adalah martabat yang pertama. Harus ada di dalam diri kita keyakinan Allāh mengetahui segala sesuatu termasuk di antaranya adalah apa yang akan terjadi. Bahkan disebutkan di dalam hadits,

ما من نفس إلا وقد علم منزلها من الجنة والنـار

“Tidak ada sebuah jiwa kecuali sudah diketahui tentang keadaannya, akan diketahui tentang akhir dari kehidupannya. Apakah dia termasuk penduduk surga atau penduduk neraka.” [HR Bukhari & Muslim]

Maka ini Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah mengetahuinya siapa yang akan masuk ke dalam surga dan siapa yang akan masuk ke dalam neraka. 

In syaa Allāh akan kita lanjutkan pembahasan ini pada kesempatan yang akan datang. Semoga Allāh Subhanahu Wa Ta'ala memudahkan. 

و بالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈┈•◈◉◉◈•┈┈┈•