Minggu, 10 Mei 2020
JER MAJRUR
Rabu, 06 Mei 2020
Pengertian Kata
Kamis, 30 April 2020
Pengertian huruf
Rabu, 29 April 2020
HURUF-HURUF QOMARIYYAH & SYAMSIYYAH
Selasa, 28 April 2020
الدّرس الثّالث
Senin, 27 April 2020
mengenal ال ( alif lam ) pada isim
Minggu, 26 April 2020
ذلك (itu)
Jumat, 24 April 2020
هٰذَا ( ini )
Selasa, 21 April 2020
Maf'ul Lah
Kaidah ke-19 adalah Maf'ul Lah
Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyampaikan,
Sejatinya maf'ul lah adalah sebab terjadinya fi'il. Setiap yang berakal pasti melakukan perbuatan dengan alasan. Jika alasan tersebut dimunculkan dalam kalimat itulah yang disebut maf'ul lah dalam Nahwu.
Sehingga maf'ul lah adalah Isim manshub yang berbentuk masdar, yang berfungsi untuk menjelaskan sebab terjadinya. Ada dua bentuk maf'ul lah yang bisa kita gunakan.
Yang pertama berbentuk Isim nakiroh misalnya,
زرته إكراما
Aku mengunjunginya untuk menghormati.
Kedua berbentuk mudhaf, misalnya,
ذهبت إلى المدرسة طلب العلم
Aku pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu.
Sedangkan jika bentuknya selain dari itu maka harus ditambahkan huruf ل sebelumnya. Misalnya،
زرته للإكرام
Minggu, 19 April 2020
TANDA-TANDA ISIM
Selasa, 14 April 2020
Tahap perkembangan fiqh. Tahap Kedua: Masa empat khalifah
Fase kedua pada buku halaman 55, disebut fase pembentukan, yang mencakup masa empat khalifah yang lurus. Diawali dengan Abu Bakar 632 hingga khalifah keempat Ali tahun 661. Periode selama 29 tahun. Hadist Nabi, “Hendaklah engkau mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan diberi petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham…,” membuat kepemimpinan mereka mendominasi setelah kepergian Nabi Muhammad SAW.
Para khalifah membuat suatu prosedur dasar dalam memecahkan masalah, terdiri dari lima bagian.
Yang pertama, merujuk kepada Al Quran.
Para khalifah memiliki pengetahuan yang cukup tinggi mengenai Al Quran. Abu Bakar adalah penghafal Quran, Umar bin Khattab menghafal Quran setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dst. Sejalan dengan itu, mereka pun merujuk kepada Sunnah. Mereka akan mengumpulkan para sahabat dan bertanya apakah ada yang mendengar pendapat Nabi mengenai ini, mengenai itu, dsb. Jadi bila ditemukan riwayat yang berkenaan, kemudian dikombinasi dengan sumber Quran, itu sudah cukup untuk menetapkan aturan atas suatu masalah.
Apabila tidak ada kejelasan dari Al Quran dan Sunnah, mereka akan mengumpulkan para sahabat dekat, bukan seluruh umat, yang pada saat ini Tentunya sudah mengalami peningkatan. Pada saat ini banyak sahabat yang sudah meninggalkan pusat pemerintahan, meskipun beberapa sahabat utama seperti Umar bin Khattab tidak mengijinkannya. Mereka diperintahkan untuk menetap di Mekkah dan Madinah. Diperkenankan untuk sahabat yang dikenal sebagai ahli perang, seperti Khalid bin Walid, namun bagi sahabat yang memiliki pengetahuan tinggi mengenai masalah hukum atau aturan, dijadikan nara sumber dalam lembaga konsultasi atau Syura untuk mengambil keputusan. Jika Syura tidak mencapai kesepakatan, tiap orang memiliki pendapat yang tidak sama, mereka tetap harus membuat keputusan. Prinsip yang digunakan adalah suara terbanyak. Jadi suara terbanyak di dalam Syura akan membuat keputusannya.
Prinsip selanjutnya adalah ijtihad yang dilakukan seperlunya oleh khalifah. Bisa dilakukan setelah konsensus, apabila contohnya khalifah mendukung salah satu pendapat tertentu. Khalifah memiliki hak untuk mendukung pendapat dengan suara minoritas dan mengambil alih pengambilan keputusan dengan ijtihadnya.
Yang kedua, apabila ada sunnah atau pendapat Rasulullah SAW yang baru diketemukan setelah mereka membuat suatu keputusan, mereka akan segera membatalkan dan langsung menggunakan apa yang diriwayatkan dalam sunnah.
Pada saat Nabi Muhammad SAW wafat, ada perselisihan mengenai tempat dimakamkannya beliau. Ada yang ingin memakamkannya di masjid, ada yang ingin memakamkannya di tanah pekuburan, di berbagai lokasi. Kemudian sahabat mengingat suatu hadist yang berhubungan, bahwa seseorang dikuburkan di tempatnya meninggal. Jadi argumen dan diskusi berhenti. Mereka pergi ke rumah Aisyah, memindahkan dipan, dan menguburkan Rasulullah SAW disana. Pada kasus dimana sahabat mengambil keputusan berdasarkan satu hadist, disebut juga al hadith al ahad atau hadist yang diriwayatkan oleh orang yang sama di bagian manapun dari suatu rantai perawi. Untuk menarik aturan, diperlukan lebih dari satu perawi, contohnya Umar bin Khattab, apabila ada seorang sahabat meriwayatkan sesuatu sehubungan dengan kasus tertentu, maka yang lain akan ditanya, apakah ada yang mendukung hadist tersebut.
Jika kita memperhatikan karakteristik umum fiqh pada periode ini, tidak ditemukan adanya faksi-faksi. Hal ini disebabkan umat Islam saat itu mempertahankan kesatuan dengan menghormati hak perbedaan ideology diantara mereka. Salah satunya dengan dibentuknya lembaga konsultasi atau Syura. Para khalifah mengandalkan Syura dalam mengambil keputusan. Jarang khalifah mengambil alih konsensus Syura, pada umumnya khalifah mengikuti apa yang diputuskan oleh lembaga tersebut. Khalifah juga mewakili suara umat mayoritas dan memilah apa-apa yang penting dan layak diutamakan.
Yang kedua, pada zaman Khulafaur Rasyidin, saat itu para sahabat utama masih dipertahankan di pusat pemerintahan sehingga relative mudah untuk mencapai konsensus. Di kemudian hari, saat pusat kekhalifahan tidak mempertahankan para sahabat, imam dan para muridnya di pusat pemerintahan, sehingga mereka tersebar, menyebabkan kesulitan dalam membuat konsensus. Ahmad bin Hambal berkata, “hanya akui ijma’ yang dilakukan padazaman sahabat, siapa yang mengakui ijma di zaman setelah sahabat adalah pembohong”. Beliau tidak benar-benar mengatakan mereka pembohong, itu caranya mengekspresikan bahwa menurutnya ijma setelah zaman sahabat adalah tidak benar. Tentunya ada saja ulama yang memiliki pendapat yang berbeda.
Fakta ketiga. Setelah melihat aturan-aturan yang dibuat oleh para sahabat, pada umumnya tidak semua sahabat membuat aturan. Saat mereka diminta untuk membuat fatwa, mereka akan meneruskannya kepada sahabat lain, yang akan meneruskannya lagi, dan lagi, dan seterusnya hingga mencapai sahabat utama. Seperti empat Abdullah yang disebut Al abadillah al arba’a, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dan Abdullah bin Umar. Meskipun mereka pakar-pakar keilmuan era sahabat, mereka tidak membuat aturan melainkan meneruskannya ke pihak-pihak yang mereka anggap lebih layak.
Yang keempat. Periwayatan hadist zaman ini terbatas, tidak begitu banyak. Hadist diriwayatkan sesuai kebutuhan. Dari 15 sahabat utama Nabi, 80% hadist disampaikan oleh 10 sahabat saja. Di luar itu, anda bisa melihat penurunan yang drastis. Hanya sebagian kecil sahabat yang meriwayatkan hadist karena kebanyakan takut untuk melakukan kesalahan dalam mengutip Nabi Muhammad SAW. Dalam hadist riwayat Bukhori & Muslim, “Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” Jadi dikarenakan rasa takut salah mengutip Nabi Muhammad SAW, mereka sangat enggan untuk meriwayatkan hadist, kecuali mereka benar-benar yakin sepenuhnya atau apabila tidak ada siapapun yang mengetahuinya, baru kemudian mereka bersedia meriwayatkannya.Selain itu, di era khalifah Umar Bin Khattab, beliau memerintahkan para sahabat untuk mempelajari Quran dan mengurangi periwayatan hadist. Pada zaman itu, apa yang ada sudah cukup untuk menghadapi permasalahan-permasalahan. Permasalahan baru tidaklah sebanyak yang ditemukan di era Utsman bin Affan, dimana pada era tersebut, banyak aturan dari era Umar bin Khattab dibatalkan.
Karakteristik kelima, yang terakhir, yaitu fiqh kesatuan. Artinya pemimpin Negara adalah pemimpin mazhab. Pada saat kepemimpinan Abu Bakar, Mazhab Abu Bakar. Di zaman Umar, Mazhab Umar, di Zaman Utsman, Mazhab Utsman, hingga Ali, Mazhab Alawi.